PADANG PARIAMAN - Di tengah kemilau Oktober yang merayakan Rabiul Awal, Kabupaten Padang Pariaman bersiap menyalakan kembali api tradisi leluhur melalui hajatan akbar yang penuh makna, "Maulueak Gadang". Acara yang berlangsung megah dari tanggal 16 hingga 18 Oktober 2025 ini bukan sekadar perayaan keagamaan, melainkan sebuah gebrakan persatuan dari Pemerintah Daerah yang bertujuan menyatukan hati seluruh masyarakat Padang Pariaman.
Maulueak Gadang kali ini terasa istimewa, sebab merupakan inisiatif perdana yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah di Sumatera Barat. Perhelatan ini diselenggarakan tidak hanya untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, tetapi juga untuk meneladani kemuliaan akhlak dan prilaku Sang Nabi Besar, sekaligus memperkenalkan kekayaan kearifan lokal Padang Pariaman, mulai dari sektor UMKM, tradisi kuliner, hingga kebudayaan luhur.
Pusat dari seluruh denyut kegiatan ini adalah Surau. Bagi masyarakat Padang Pariaman, surau jauh melampaui fungsi tempat ibadah biasa. Dahulu, surau adalah madrasah tempat anak laki-laki mengaji, belajar adat, dan bahkan berlatih bela diri. Meskipun beberapa aktivitas telah memudar dimakan zaman, perayaan Maulueak senantiasa membawa kembali roh keramaian surau.
Di surau, berbagai prosesi sakral dan komunal bertemu. Suara lantunan merdu Sarapal Anam (Sarafal Anam) memenuhi udara. Tradisi ini, diwarnai pembacaan Kitab Al Barzanji atau Kitab Maulueak Syaraful Anam yang dilantunkan dengan irama shalawat, merupakan warisan abadi dari Syech Burhanuddin Ulakan. Ulama besar ini, yang berguru selama tiga puluh tahun kepada Syech Abdurrauf as-Singkili di Aceh, kembali ke tanah Minangkabau untuk menyebarkan ajaran Islam, khususnya Tarekat Syattariah. Hingga kini, Sarafal Anam menjadi media dakwah dan pelestarian ajaran yang juga hadir dalam tradisi ziarah Basafa ke makam beliau di Ulakan.
Tak lengkap perayaan Maulueak tanpa aroma manis dan gurih dari Lamang. Kuliner berbahan dasar ketan yang dimasak dalam bambu ini adalah penganan wajib. Proses pembuatannya, yang disebut Malamang, adalah sebuah ritual kebersamaan.
Di surau, kaum ibu-ibu atau bundo kanduang dari berbagai kawasan berkumpul. Mereka bekerja secara gotong royong dengan sukarela, memasak lamang yang membutuhkan ketelatenan selama 3-4 jam. Malamang bukan sekadar urusan dapur, ia adalah simbol kekuatan silaturahmi, menegaskan filosofi bahwa Lamang yang baik hanya lahir dari kebersamaan dan ketelitian.
Puncak dari kebersamaan kuliner ini adalah Makan Bajamba. Jamba adalah sebutan untuk makanan yang terbungkus rapi, disajikan dalam wadah untuk dinikmati bersama sebagai wujud syukur atas kelahiran Rasulullah SAW. Para ibu-ibu akan menyiapkan jamba secara mandiri, memasak dan menyusun hidangan pokok seperti nasi dan lauk pauk khas: Gulai Kapalo Laueak Pangek, Samba Lado Tanak, Kalio, serta beragam olahan tani. Jamba ini kemudian dihantarkan ke surau saat "Urang Siak" hadir, menjadi momen sakral di mana seluruh masyarakat duduk bersila, makan bersama, dan mempererat tali persaudaraan.
Maulueak Gadang, bersama tradisi-tradisi lain seperti badikie dan badoncek, adalah sebuah narasi utuh tentang Padang Pariaman, masyarakat yang menjunjung tinggi warisan spiritual, memegang erat budaya gotong royong, dan senantiasa merayakan kebersamaan di tengah kerinduan para perantau. Oktober 2025 menjadi penanda, bahwa warisan agung Maulueak yang telah berjalan sejak dahulu kala, akan terus menyala terang di jantung Ranah Minang. (Jr)