SUMBAR - 5 OKTOBER 2025 - Pulau Mentawai, sebidang tanah di Samudra Hindia yang menyimpan salah satu peradaban tertua di dunia, baru-baru ini menjadi saksi sebuah momen keakraban budaya. Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatera Barat, Irjen Pol Dr. Drs. Gatot Tri Suryanta, M.Si., CSFA, bersama Wakil Gubernur Vasko Ruseimy, tiba di kepulauan yang dikenal sebagai Bumi Sikerei itu. Kehadiran mereka disambut hangat oleh Bupati Kepulauan Mentawai dan masyarakat setempat, menandai sebuah jembatan antara kekuasaan dan tradisi.
Suasana di lokasi acara terasa nyaris magis. Rombongan disambut oleh Suku Sikerei, para tokoh spiritual adat Mentawai. Mengenakan hiasan kepala dari bulu unggas, kalung manik, dan lilitan kulit kayu, para Sikerei menyuguhkan tarian penyambutan yang penuh makna, yang dikenal sebagai Tarian Bilo (salah satu jenis tarian Turuk). Setiap gerakan, setiap hentakan kaki, seolah menarasikan hubungan erat antara manusia dan alam yang telah terjalin ribuan tahun.
Tawa renyah pecah ketika Kapolda dan Wakil Gubernur memutuskan untuk tidak hanya menonton, tetapi juga turut serta dalam tradisi. Mereka tidak canggung berbaur, bahkan mengenakan ikat kepala khas Mentawai. Momen ini menjadi simbol penghormatan tertinggi terhadap tuan rumah.
Puncak keakraban terjadi di meja hidangan. Bukan hidangan formal kenegaraan, melainkan sajian otentik dari hutan Mentawai, ulat sagu dan toek. Ulat sagu, yang kaya protein, adalah makanan pokok yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari siklus hidup masyarakat Mentawai.
Dalam sebuah adegan yang terekam kamera, Kapolda Gatot Tri Suryanta dan Wakil Gubernur Vasko Ruseimy terlihat menikmati kuliner ekstrem tersebut dengan ekspresi ceria. Mereka bahkan saling menyuapi, seolah membuktikan ungkapan yang tertera di sana: "GURIH GURIH TAMBAH!" Momen mencicipi ulat sagu ini lebih dari sekadar tantangan kuliner; ini adalah ritual yang menandakan penerimaan penuh terhadap kearifan lokal.
Selain kuliner, Kapolda juga menyaksikan langsung salah satu warisan dunia Mentawai, tato tradisional atau "Titi."
Seni merajah tubuh Mentawai dikenal sebagai salah satu tradisi tato tertua di dunia, yang konon sudah ada sejak 1.500 SM. Bagi masyarakat Mentawai, setiap garis dan pola tato bukanlah sekadar hiasan. Ia adalah peta jiwa (sikerei memiliki pola bintang-bintang, pemburu memiliki pola binatang buruan), identitas diri, doa yang tertulis di kulit, dan narasi hidup yang abadi. Menyaksikan prosesi ini adalah melihat bagaimana sejarah dan spiritualitas diabadikan dalam bentuk seni yang tak lekang oleh waktu.
Menutup kunjungannya yang sarat makna, Kapolda Sumbar, Irjen Pol Gatot Tri Suryanta, menyampaikan pesan yang kuat.
> "Budaya Mentawai adalah warisan yang tak ternilai, dan sudah menjadi tugas kita bersama untuk menjaganya tetap hidup dan dikenal dunia," ujar beliau.
>
Kunjungan ini menegaskan bahwa pembangunan dan modernisasi harus berjalan beriringan dengan pelestarian akar budaya. Mentawai bukan hanya tentang keindahan alamnya yang mendunia, tetapi juga tentang kekayaan peradabannya yang harus dirawat sebagai pusaka bangsa. (And)