Kota Padang, nan indah dan berpegang teguh pada adat istiadat, telah dibayangi oleh kengerian yang berulang, tawuran pelajar. Bahkan insiden tragis menewaskan seorang siswa SMA di kawasan Simpang Ketaping pada Sabtu (14/9) bukan hanya sekadar catatan kriminal biasa, melainkan sebuah alarm keras yang memekakkan telinga. Ia menyiratkan bahwasanya di tengah gemerlapnya pembangunan, ada kegagalan masif dalam mendidik dan melindungi generasi muda.
Kita telah sampai pada titik di mana tawuran bukan lagi aib segelintir remaja, melainkan manifestasi dari kegagalan kolektif yang melingkupi setiap pilar sosial di kota ini. Ini adalah tragedi bersama, dan pertanggungjawabannya harus dimulai dari titik terdekat, rumah hingga puncak kepemimpinan Balai Kota.
Jauh sebelum pelajar turun ke jalan dengan senjata tajam, krisis ini telah bersemi di ruang-ruang privat. Keluarga seharusnya menjadi benteng pertama pendidikan karakter. Namun, realitas sosial modern, tekanan ekonomi, kesibukan orang tua, atau rapuhnya ikatan keluarga (seperti kasus broken home) seringkali meninggalkan jurang pengawasan.
Anak-anak yang haus perhatian, pengakuan, dan bimbingan, berbalik mencari validasi di luar. Mereka menemukan "keluarga" baru dalam geng sekolah atau kelompok jalanan. Di sanalah, solidaritas semu diuji melalui kekerasan, dan eksistensi diukur dengan keberanian melukai lawan. Bagaimana mungkin seorang remaja membawa benda-benda mematikan, berkoordinasi melalui media sosial, dan turun ke medan laga tanpa sedikit pun terendus oleh orang tua? Ini adalah bukti nyata bahwa pilar terpenting dalam masyarakat telah rapuh.
Institusi pendidikan, tempat seharusnya marwah intelektualitas dijunjung tinggi, tampak kehabisan strategi. Tawuran antar-SMK/SMA tertentu di Padang telah menjadi "tradisi gelap" yang diwariskan. Ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan selama ini hanya bersifat kosmetik, gagal menyentuh inti konflik.
Langkah-langkah sekolah seringkali berhenti pada hukuman administratif, alih-alih pada pembinaan psikologis dan karakter yang mendalam. Kegiatan ekstrakurikuler yang seharusnya menjadi wadah penyaluran energi dan pencarian jati diri yang positif, terkesan formalitas. Sekolah perlu melakukan revolusi, menjadikan Guru Bimbingan Konseling (BK) sebagai garda terdepan penyelamat, aktif melakukan pemetaan (bukan hanya razia), dan membangun program seperti Wirid Gabungan atau Duta Trantibum agar benar-benar menjadi agen perubahan yang kredibel di mata siswa.
Di Balai Kota, Walikota dan Wakil Walikota memiliki tanggung jawab koordinasi dan kebijakan. Mereka tidak bisa lagi hanya menjadi pemadam kebakaran setelah tragedi terjadi. Hilangnya nyawa di jalanan adalah kegagalan dalam menjamin keamanan warga, terutama anak di bawah umur. Ini menyangkut nama baik dan marwah kota.
Kepemimpinan Padang dituntut untuk:
1 Mewujudkan Sinergi Antar-Lembaga: Mengintegrasikan Dinas Pendidikan, Polresta, Satpol PP, dan tokoh masyarakat dalam satu komando pencegahan.
2 Menerapkan Regulasi Kritis: Wacana seperti Jam Malam dan Dubalang Kota harus berjalan dan ditegakkan secara konsisten untuk membatasi ruang gerak aktivitas negatif.
3 Mencari Dana Rehabilitasi: Investasi dalam program pembinaan mental remaja, bukan hanya penindakan.
Mengakhiri Siklus Darah
Sikap "anti-siapa-siapa" bukan berarti tidak ada yang salah. Ini berarti semua pihak memiliki kesalahan dan harus mengambil peran. Kepolisian harus bertindak tegas, bukan hanya menangkap, tetapi juga memproses hukum para pelaku yang terbukti membawa senjata dan menghilangkan nyawa, memberikan efek jera yang nyata.
Padang, dengan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, seharusnya mampu mencetak generasi yang menjunjung tinggi akal budi dan kemanusiaan.
Kita tidak boleh lagi membiarkan duka mengalir di jalanan. Sudah cukup darah dan air mata yang tumpah. Kegagalan kolektif ini harus dihentikan dengan solusi kolektif yang radikal. Jika tidak, kota ini akan terus kehilangan generasi terbaiknya demi eksistensi yang semu, dicoret dari daftar kota bermarwah, menjadi kota yang diam-diam merawat bom waktu sosial.
Padang, 12 Oktober 20sosi
Oleh : Andarizal, Ketua Umum KJI "Kolaborasi Jurnalis Indonesia"