-->
  • Jelajahi

    Copyright © Portalanda
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Mengurai Jerat Kualitas dan Keadilan: Dilema Pergub Sumbar dan Ancaman Matinya Media Kecil

    Rabu, 08 Oktober 2025, Oktober 08, 2025 WIB Last Updated 2025-10-08T07:40:59Z

    Di tengah pusaran tuntutan akan kualitas dan akuntabilitas informasi publik, Peraturan Gubernur (Pergub) Sumatera Barat Nomor 30 Tahun 2018 kembali memantik diskusi panas. Regulasi yang sejatinya mulia, dirancang untuk menyaring dan memastikan informasi pemerintah tersebar melalui kanal yang profesional, kini justru dituding sebagai pedang bermata dua yang mengancam keberagaman dan keadilan dalam ekosistem media lokal.


    Tujuan Pergub 30/2018 terdengar ideal, menciptakan kemitraan penyebarluasan informasi hanya dengan media yang terverifikasi Dewan Pers, memiliki wartawan kompetensi utama, badan hukum yang sah, serta struktur redaksi yang mapan. Ini adalah standar tinggi, sebuah filter yang menjanjikan informasi yang akurat dan bertanggung jawab bagi publik. Siapa yang tidak setuju dengan kualitas?

    Namun, narasi di balik idealisme ini menyimpan ironi pahit bagi para pelaku media kecil.


    Bagi media-media besar atau yang sudah mapan, persyaratan Pergub ini mungkin hanyalah formalitas. Tetapi bagi media-media rintisan atau yang beroperasi dengan sumber daya terbatas seringkali mereka adalah suara-suara lokal di tingkat nagari dan kabupaten, persyaratan itu menjelma menjadi tembok penghalang yang nyaris mustahil didaki.


    Bayangkan, sebuah media lokal kecil yang gigih menyajikan berita di pelosok, mungkin hanya memiliki satu atau dua wartawan. Tiba-tiba, mereka diwajibkan memiliki wartawan dengan kompetensi utama atau harus berjuang mati-matian mengejar verifikasi Dewan Pers. Ini bukan hanya soal biaya, ini soal keterbatasan struktural dan finansial yang inheren pada media skala kecil.


    Akibatnya, Pergub ini berpotensi menciptakan diskriminasi informasi terselubung. Pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi sumber informasi bagi seluruh rakyat, terpaksa hanya bermitra dengan segelintir media yang "lulus kualifikasi." Media kecil yang tersingkir dari kemitraan ini secara otomatis kehilangan akses vital untuk menyajikan informasi pemerintah kepada audiens mereka. Mereka terpinggirkan, dan yang lebih merugikan, suara mereka perlahan dimatikan.


    Lebih jauh, regulasi ini bukan hanya menghambat individu, tetapi merusak keseluruhan ekosistem media di Ranah Minang. Pergub 30/2018 berisiko memicu fragmentasi, terciptanya kelompok media elite yang memiliki akses istimewa dan media kelas dua yang terperosok dalam marginalisasi.


    Kondisi ini sangat berbahaya. Pluralisme media adalah salah satu pilar demokrasi. Ketika hanya segelintir media yang memiliki privilege untuk berkooperasi dengan pemerintah, kita berisiko kehilangan keberagaman perspektif dan kedalaman liputan yang justru sering dibawa oleh media-media lokal kecil. Kualitas informasi memang penting, tetapi keseimbangan ekosistem jauh lebih fundamental bagi kesehatan masyarakat pers.


    Kita tidak boleh merelakan kualitas, tetapi kita juga tidak boleh mengorbankan keadilan. Dilema ini menuntut Pemerintah Provinsi Sumatera Barat untuk berintrospeksi dan meninjau ulang regulasi tersebut.


    Peninjauan ulang tidak berarti menghapus standar, melainkan melunakkan jerat persyaratan agar lebih adaptif terhadap realitas media lokal. Libatkanlah organisasi pers, akademisi, dan perwakilan media kecil dalam proses ini.


    Pemerintah punya peran yang lebih konstruktif daripada sekadar memfilter, mereka bisa menjadi fasilitator dan pembina. Alih-alih melarang, berikanlah program pendampingan, pelatihan kompetensi, dan bantuan teknis kepada media kecil. Bantu mereka untuk naik kelas dan mencapai standar profesional, bukannya menendang mereka keluar dari arena.


    Pergub 30/2018 adalah manifestasi dari niat baik, tetapi jika implementasinya justru mematikan suara-suara kecil yang penting, maka niat baik itu telah kehilangan arah. Kualitas informasi publik harus diraih melalui pembinaan dan inklusivitas, bukan melalui diskriminasi dan eksklusi. Ini adalah saatnya mencari solusi yang inklusif, demi masa depan pers Sumatera Barat yang sehat, profesional, dan berkeadilan.


    Padang, 8 Oktober 2025

    Penulis: Andarizal, Ketua Umum KJI (Kolaborasi Jurnalis Indonesia) 

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini