-->
  • Jelajahi

    Copyright © Portalanda
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Translate

    Iklan

    Iklan

    Mempertanyakan Efektivitas Kebijakan di Sumbar: Gubernur Harus Mampu Menanggulangi Eksodus Pencari Kerja

    Minggu, 12 Oktober 2025, Oktober 12, 2025 WIB Last Updated 2025-10-12T08:58:59Z

    Sumatera Barat, sebuah provinsi yang dianugerahi keindahan alam yang memukau dan kekayaan bumi yang melimpah, kini berdiri di persimpangan jalan antara potensi yang menjulang dan realitas sosial yang memprihatinkan. Tanah Minang adalah deposit signifikan bagi batu bara, emas, timah hitam, hingga produsen gambir utama nasional. Namun, di balik narasi kemakmuran geologis ini, tersimpan sebuah paradoks yang menusuk, angka Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,69\% per Februari 2025, sebuah posisi yang menempatkan kita di peringkat ke-9 tertinggi secara nasional.


    Inilah inti dari kritik kita. Di saat Sawahlunto menyimpan sejarah emas hitam Asia Tenggara, dan Solok Selatan melahirkan bongkahan emas, mengapa masih banyak putra-putri terbaik Ranah Minang harus menanggalkan kampung halaman, pergi merantau ke provinsi lain, hanya demi mencari secercah pekerjaan dan kesejahteraan yang seharusnya dapat mereka temukan di negeri sendiri?


    Kesejahteraan masyarakat adalah sebuah bangunan rumit yang fondasinya adalah kepemimpinan yang berintegritas. Gubernur dan Wakil Gubernur memang pemegang kendali utama dalam merancang implementasi program pembangunan. Mereka bertanggung jawab. Namun, realitasnya, masalah pengangguran dan kemiskinan tidak berdiri sendiri. Ia adalah cerminan dari kegagalan sistemik yang melibatkan berbagai faktor, mulai dari ketidakseimbangan antara kualifikasi pencari kerja dan kebutuhan industri, hingga lambannya iklim investasi dalam menyerap tenaga kerja.


    Persoalan yang jauh lebih mendasar adalah fenomena "lupa diri" yang menimpa sebagian abdi negara. Sebagaimana yang kita ketahui, setiap pejabat negara, mulai dari elit politik hingga pegawai BUMN/BUMD yang gajinya bersumber dari APBN/APBD, sejatinya adalah Pelayan Publik. Mereka dipilih, diangkat, dan digaji untuk memastikan kesejahteraan rakyat. Ketika kekayaan tambang dan hasil bumi (karet, sawit, kopi, padi) melimpah, tetapi lapangan pekerjaan tidak sebanding, maka kita harus mempertanyakan efektivitas dan keberpihakan kebijakan pembangunan yang telah dirumuskan.


    Pertanggungjawaban ini bukan sekadar urusan administrasi, melainkan urusan moral. Ketika rakyat memilih, mereka menyerahkan mandat untuk dikelola dengan amanah. Jika di tengah limpahan emas dan gambir, anak nagari justru terpaksa menjadi tenaga kerja migran domestik, ini adalah indikasi nyata bahwa ada yang salah dalam tata kelola kekayaan dan pembangunan daerah.


    Pemerintah daerah telah merespons isu pengangguran dengan langkah-langkah formal, pelatihan keterampilan, bursa kerja, pemberian insentif investasi, dan peningkatan kerja sama swasta. Langkah-langkah ini patut diapresiasi, tetapi efektivitasnya seringkali terbentur pada sekat-sekat birokrasi dan inkonsistensi.


    Kekayaan alam Sumatera Barat seharusnya tidak hanya menjadi sumber pendapatan daerah yang mengalir ke APBD, tetapi harus menjadi modal kunci untuk industrialisasi berbasis kearifan lokal. Mengapa sumber gambir terbesar di Indonesia tidak memiliki industri hilir yang kuat dan menyerap ribuan tenaga kerja lokal? Mengapa hasil tambang emas hanya menyisakan lubang galian bagi daerah, sementara nilai tambahnya dinikmati di luar provinsi?


    Narasi kritis ini mendesak Gubernur dan Wakil Gubernur, serta seluruh jajaran pemerintahan, untuk:


     * Mengintegrasikan Kekayaan Alam dengan Penciptaan Kerja: Membangun supply chain industri hilir, khususnya pada komoditas unggulan (gambir, karet, kopi), agar nilai tambah dinikmati masyarakat lokal.


     * Memperbaiki Kualitas Pelayanan Publik: Menghapuskan praktik "lupa diri" dan memastikan bahwa setiap rupiah dari APBD digunakan secara maksimal untuk kepentingan publik, bukan semata untuk kepentingan golongan.


     * Memperkuat Dialog Keterampilan: Memastikan kurikulum pendidikan dan pelatihan vokasi benar-benar sejalan dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh industri pertambangan, pariwisata, dan pertanian modern di Sumbar.


    Di tengah proyeksi jumlah penduduk yang mencapai 5,91 juta jiwa pada tahun 2025, krisis lapangan kerja ini adalah bom waktu sosial. Kita tidak bisa lagi berpuas diri dengan status sebagai provinsi kaya sumber daya. Saatnya kekayaan ini diubah menjadi kesejahteraan nyata, agar budaya merantau berubah menjadi pilihan untuk menimba ilmu dan pengalaman, bukan lagi keharusan tragis untuk mencari sesuap nasi. Tanggung jawab ini menuntut lebih dari sekadar kebijakan; ia menuntut integritas dan keberpihakan hati nurani para pemimpin kepada anak nagari.


    Padang, 12 Oktober 2025

    Penulis: Andarizal, Ketua Umum KJI "Kolaborasi Jurnalis Indonesia"

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini