Kritik pedas dilayangkan KJI, kepada Rahmad Yuhendra, Sekretaris Dinas SDABK Sumbar, dan kontraktor pelaksana, Dwi, bukan sekadar konflik personal, melainkan teguran keras terhadap mentalitas feodal yang masih bersemayam di birokrasi dan kalangan pelaksana proyek.
Dalam narasia artikel yang berjudul: Dugaan Kejanggalan di Proyek Seawall Rp 2,55 Miliar di Pasaman Barat, Dikonfirmasi Rekanan "Emosi", Rahmad Yuhendra bersikap bungkam saat pertama kali dikonfirmasi media. Dan pada artikel kedua berjudul: "Rahmad Yuhendra Buka Suara Soal Kejanggalan Proyek Seawall di Pasaman Barat". Sikap ini sungguh ironis. Seorang pejabat publik, yang gajinya dibayar dari kontribusi masyarakat melalui pajak, semestinya mengedepankan keterbukaan, bukan defensif.
Sebagaimana digarisbawahi, seorang pejabat adalah pelayan masyarakat, bukan 'bos' yang boleh seenaknya memilih kapan harus bicara dan kapan harus menampik. Keterlambatan dalam memberikan keterangan pers bukan hanya melukai perasaan pers, tetapi juga menciderai hak publik untuk mengetahui. Kesediaan untuk dikritik dan kemampuan untuk meresponsnya secara profesional adalah barometer utama seorang abdi negara. Jika tidak siap, seperti seruan KJI, tinggalkan jabatan itu.
Sikap kontraktor berinisial Dwi dari CV Rayazka tak kalah disayangkan. Pernyataan yang menyebut "Media tidak sopan" saat dikonfirmasi adalah blunder fatal. Dalam proyek yang didanai oleh kas negara, awak media adalah perpanjangan tangan masyarakat, auditor publik yang tak bergaji yang wajib memastikan anggaran digunakan sesuai peruntukan.
Dwi harus memahami, penghujatan atau pelecehan terhadap pers saat menjalankan tugas memiliki payung hukum yang jelas: Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, Pasal 8. Undang-undang ini menjamin wartawan mendapat perlindungan hukum. Menganggap wartawan sebagai penghalang atau musuh adalah sikap yang tidak profesional, melanggar etika, dan berpotensi merusak reputasi proyek.
Kasus di Pasaman Barat ini seharusnya menjadi pengingat bagi setiap pejabat dan kontraktor. Ketika media menemukan "kejanggalan," respons yang tepat bukanlah emosi atau bungkam, melainkan komunikasi terbuka, klarifikasi, dan penyediaan data yang akurat.
Kontraktor dan pengawas harus mengubah narasi, dari sikap konfrontatif menjadi kolaboratif. Mereka wajib memposisikan media sebagai mitra pengawas yang mendukung terwujudnya proyek berkualitas, bukan sekadar objek yang bisa diabaikan atau disemprot. Karena pada dasarnya, tuntutan pers dan kepentingan rakyat adalah sama, mewujudkan proyek pembangunan yang bersih, akuntabel, dan bermanfaat bagi kesejahteraan bersama.