Mentari Pagi yang Meredup: Sebuah Elegi Kehilangan
Ia hadir dalam hidup, menyapa kalbu yang membeku dengan kehangatan mentari pagi. Cahayanya menerobos celah-celah sepi, menghidupkan kembali warna-warna yang pudar. Keberadaannya adalah oase di tengah gurun jiwa, tempat hati yang dahaga menemukan kedamaian. Namun, seperti mentari yang terbenam di ufuk barat, ia kini telah pergi, meninggalkan jejak berupa bayangan yang memeluk erat, namun tak lagi mampu menghangatkan.
Dalam sunyi malam yang pekat, di antara desah angin yang lirih dan gemuruh yang terpendam, suara hatiku mencari. Mencari jejak yang tertinggal, aroma yang membekas, namun yang kutemui hanyalah bisu yang menghantam. Rindu yang membuncah menjelma gema yang kelu, terperangkap dalam kerongkongan yang tercekat oleh air mata yang tak kunjung usai.
Setiap langkah terasa berat, seolah kaki ini terikat oleh bayang-bayang masa lalu. Kenangan tentangnya bagai rantai yang tak kasat mata, mengikat erat pada setiap sudut ruang dan waktu. Wajahnya masih terukir jelas di antara sisa-sisa air mata yang mengering, sebuah potret yang buram namun tak lekang oleh waktu. Dulu, genggamannya adalah pelindung, kini hanya kehampaan yang terasa di telapak tangan.
Kupanggil namanya, berharap ada jawaban yang memecah kesunyian. Namun, hanya angin yang berbisik, membawa serta getaran nama itu di ujung napasku yang tersengal. Doa yang dulu menjadi harapan, kini terasa hampa, seolah kata-kata itu tak lagi mampu menembus batas dunia yang berbeda.
Andai waktu dapat diputar kembali, andai takdir memberikan kesempatan kedua, aku ingin mendekapnya sekali lagi, merasakan kehangatan yang dulu pernah ada. Namun, kenyataan terlalu pahit untuk ditelan. Takdir merenggutnya tanpa permisi, tanpa memberikan kesempatan untuk mengucapkan salam perpisahan yang layak.
Hari ini, langkahku tertuju pada sebuah tempat yang sunyi, di mana ia kini bersemayam. Di atas pusaranya, kubaringkan bunga-bunga yang layu, simbol dari waktu yang terus berjalan namun tak mampu menghapus jejaknya. Hanya satu bisikan yang mampu kulontarkan, sebuah janji yang terucap dari hati yang terluka: "Tunggulah aku di keabadian."
Tanpa dirinya, hidup ini terasa seperti bayangan dari kehidupan yang sebenarnya. Segala tujuan seolah sirna, tertelan oleh jurang kehilangan yang tak bertepi. Jika air mata ini tak cukup untuk meluapkan kesedihan, biarlah ia menjadi sungai yang menenggelamkan seluruh sisa-sisa harapan.
Ia telah pergi, namun sebagian dari diriku ikut bersamanya. Karena ia bukan hanya sekadar seseorang yang pernah hadir, melainkan separuh dari jiwa ini, yang kini hilang dan tak mungkin tergantikan. Kepergiannya adalah luka yang takkan pernah benar-benar sembuh, sebuah elegi abadi tentang cinta dan kehilangan.
Padang, 14 April 2025
Penulis: Aniyah