Mengejar Mimpi Juara Dunia, Melupakan “Emas” Usia Dini: Kritik Tajam Pakar Olahraga Syahrial Bakhtiar

Di tengah euforia perburuan prestasi gemilang di panggung olahraga dunia, sebuah peringatan keras datang dari salah satu pakar terkemuka. Prof. Dr. Syahrial Bakhtiar, seorang ahli dalam Identifikasi Bakat Olahraga, melayangkan kritik pedas terhadap arah pembinaan atlet di Indonesia yang dinilainya pincang dan mengabaikan fondasi paling mendasar: pembinaan usia dini.

Menurut Prof. Syahrial, saat ini semua elemen terkesan terburu-buru mengejar target prestasi dunia, namun di saat yang sama melupakan pembibitan atlet di usia paling krusial. Anak-anak dan remaja yang sejatinya merupakan aset masa depan olahraga bangsa, kata beliau, tidak mendapatkan bimbingan yang sesuai dengan standar dan kebutuhan perkembangan mereka.

"Mereka tak pernah dibimbing sesuai standar dan kebutuhannya," ucap Prof. Dr. Syahrial dengan nada prihatin. Standar yang dimaksud bukan sekadar latihan fisik, melainkan pendekatan holistik yang mencakup identifikasi bakat yang tepat, program latihan yang ilmiah dan terukur sesuai fase tumbuh kembang, serta pendampingan psikologis yang memadai. Hal-hal fundamental ini, menurutnya, seringkali terlewatkan dalam hiruk pikuk pembinaan yang berorientasi pada hasil instan.

Ironisnya, di tengah kondisi pembinaan yang belum ideal di tingkat akar rumput, negara justru menaruh ekspektasi tinggi terhadap lahirnya juara-juara dunia. "Negara tak pernah benar-benar hadir dalam pembinaan, tetapi menginginkan prestasi," kritik Guru Besar Bidang Ilmu Keolahragaan ini, menggambarkan jurang pemisah antara harapan dan realitas di lapangan.

Kritik ini secara langsung menukik pada peran institusi pendidikan, khususnya sekolah dan Kementerian Pendidikan, dalam ekosistem olahraga nasional. Ivent-ivent olahraga memang rutin digelar di lingkungan sekolah, mulai dari tingkat lokal hingga nasional sekelas Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN). Namun, muncul pertanyaan krusial: apakah sekolah benar-benar memberikan pelatihan olahraga tertentu secara mendalam kepada murid-murid yang berlaga di ajang tersebut?

Prof. Syahrial ragu bahwa sekolah reguler memiliki kapasitas dan sistem yang memadai untuk menyediakan pelatihan spesifik berorientasi prestasi tinggi. Pendidikan jasmani di sekolah umum lebih difokuskan pada aspek kesehatan, kebugaran, dan pengenalan berbagai cabang olahraga secara umum, bukan pada penempaan atlet untuk kompetisi tingkat lanjut. Pelatihan prestasi yang sesungguhnya, idealnya didapatkan di klub-klub olahraga yang memiliki program dan pelatih terspesialisasi, atau di sekolah-sekolah khusus olahraga (SKO) yang jumlahnya masih terbatas.

Situasi di sekolah reguler bahkan diperparah dengan tantangan yang harus dihadapi para siswa yang sejatinya adalah atlet. Mereka yang berjuang mengharumkan nama sekolah atau daerah di berbagai kejuaraan, justru seringkali terhambat urusan akademik di sekolahnya. Bentrokan jadwal latihan dan pertandingan dengan jam pelajaran, kesulitan mengejar materi yang tertinggal, hingga kurangnya pemahaman atau dukungan dari pihak sekolah terhadap status ganda mereka sebagai pelajar dan atlet, menjadi problematika klasik yang tak kunjung usai.

"Malahan banyak pelajar yang atlet terkendala di sekolahnya," sesal Prof. Syahrial. Beban ganda ini bisa mengganggu konsentrasi, baik dalam belajar maupun berlatih, dan pada akhirnya dapat menghambat potensi maksimal mereka, baik di jalur pendidikan maupun di jalur olahraga.

Pandangan Prof. Dr. Syahrial Bakhtiar ini menjadi otokritik penting bagi ekosistem olahraga nasional. Mengejar prestasi dunia adalah keniscayaan, namun pondasi yang kuat melalui pembinaan usia dini yang terstruktur, terencana, dan didukung penuh oleh negara serta lembaga pendidikan, adalah kunci keberlanjutan prestasi itu sendiri. Tanpa perbaikan mendasar di level ini, mimpi untuk secara konsisten melahirkan atlet-atlet kelas dunia mungkin akan tetap menjadi sebatas ambisi di atas fondasi yang rapuh. 

Padang, 12 Mei 2025

Oleh: Andarizal/Adi K


Topik Terkait

Baca Juga :