Ada kalanya hidup terasa begitu mulus, seolah tak ada satu pun kerikil yang sanggup mengusik langkah. Kita melangkah di atas awan, menari di bawah sorotan cahaya, dan merasa seolah dunia adalah panggung pribadi. Di masa-masa itu, senyum adalah topeng yang begitu sempurna, menutup rapat kerapuhan yang mungkin tak pernah kita sadari. Namun, seiring waktu, ada satu hukum alam yang tak terhindarkan, gravitasi. Dan tak peduli seberapa tinggi kita terbang, ada saatnya kita harus jatuh.
Jatuh itu, bukan sebuah kegagalan. Ia adalah sebuah jeda, sebuah titik balik yang mematikan sorotan panggung dan mengembalikan kita pada realitas yang telanjang. Saat tubuh limbung dan lutut menyentuh tanah, dunia seolah berhenti berputar. Kebisingan tepuk tangan yang dulu riuh kini lenyap, digantikan oleh keheningan yang memekakkan. Di momen itulah, topeng yang dulu begitu sempurna mulai retak, dan wajah asli kita terlihat, penuh luka, air mata, dan kelelahan yang tersembunyi.
Namun, di tengah keheningan itu, kita mulai menyadari satu hal. Tangan-tangan yang dulu mengulurkan diri untuk merayakan kini menghilang, digantikan oleh tangan-tangan yang tak pernah kita sangka. Tangan yang mengulurkan bantuan, bukan untuk bertepuk tangan atas kesuksesan, melainkan untuk menggenggam saat kita tak punya apa-apa lagi. Tangan yang mengangkat kita perlahan, membersihkan debu dari pakaian, dan berbisik bahwa tidak apa-apa untuk tidak sempurna.
Jatuh adalah guru yang bijaksana. Ia mengajarkan kita untuk membedakan antara kilau emas dan cahaya sejati. Ia mengupas lapisan demi lapisan ilusi yang kita bangun. Kita jadi tahu, siapa yang benar-benar peduli pada kita bukan pada pencapaian kita. Kita jadi tahu, siapa yang tulus mengulurkan tangan tanpa pamrih, dan siapa yang diam-diam bertepuk tangan di balik layar atas kehancuran kita.
Maka, biarkan diri kita jatuh. Sebab, di setiap kejatuhan, ada hikmah yang tak ternilai. Kita belajar untuk lebih menghargai tangan yang mengulur, dan lebih memahami arti ketulusan. Kita menemukan kekuatan baru, yang tak pernah kita sadari ada di dalam diri. Dan yang paling penting, kita kembali ke rumah: diri kita sendiri, tanpa topeng, tanpa sorotan, dan dengan hati yang lebih bersih. Karena setelah semua badai berlalu, kita akan bangkit. Bukan untuk mencari panggung yang baru, melainkan untuk berjalan di jalan yang lebih kokoh, ditemani oleh orang-orang yang memang benar-benar pantas berada di sisi kita.
Padang, 24 September 2025
By: Andarizal