JAKARTA – Di balik deretan Ruko Marinatama (Marina) kawasan perdagangan Mangga Dua, Jakarta Utara, tersimpan kisah panjang ketidakpastian selama seperempat abad. Ketidakpastian itu kini tumpah ke meja hijau. Sebanyak 42 warga penghuni ruko tersebut resmi melayangkan gugatan terhadap Induk Koperasi Angkatan Laut (Inkopal) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur, menuding adanya cacat hukum dalam penerbitan sertifikat hak pakai lahan yang mereka beli dengan janji kepemilikan.
Ini bukan sekadar sengketa lahan biasa. Ini adalah pertarungan hukum yang berakar pada sebuah janji tahun 1990-an.
“Warga membeli dan menempati ruko dengan perjanjian akan memperoleh Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), bukan hak pakai. Namun setelah lebih dari dua dekade, justru terbit sertifikat hak pakai atas nama pihak lain. Proses ini jelas menyalahi ketentuan hukum agraria,” tegas Subali, S.H., kuasa hukum warga, usai sidang kelima yang penuh ketegangan di PTUN Jakarta Timur, Selasa (12/11/2025).
Ruko Marinatama dibangun sebagai kawasan elit perdagangan di bawah koordinasi Inkopal. Warga telah menginvestasikan modal dan hidup mereka di sana, percaya bahwa setelah masa pembangunan, mereka akan memegang bukti kepemilikan yang kuat, yaitu SHGB.
Namun, yang muncul setelah 25 tahun adalah hak yang lemah, hakikatnya pakai yang justru dikeluarkan atas nama pihak lain, bukan atas nama mereka yang telah membayar lunas.
Subali menjelaskan, fokus gugatan ini adalah menguji keabsahan administratif sertifikat tersebut. Secara hukum pertanahan, ia menunjuk adanya langkah yang melompat.
“Secara aturan, tanah negara harus dikonversi dulu menjadi Hak Pengelolaan Lahan (HPL) atas nama Kementerian Pertahanan sebelum bisa dilekati HGB. Namun, dalam kasus ini, prosesnya menyimpang dan langsung diterbitkan sebagai hak pakai. Ini jelas keliru secara hukum,” ujarnya, menegaskan fondasi gugatan mereka.
Di tengah perjuangan pembuktian di pengadilan, tekanan psikologis datang menghampiri. Warga mengaku telah menerima surat peringatan pengosongan bangunan dari pihak Inkopal. Tak hanya itu, sebagian bahkan mengalami intimidasi dari orang tak dikenal setelah menghadiri persidangan.
Subali mengutuk langkah-langkah di luar hukum ini. “Langkah-langkah itu mencederai proses hukum yang sedang berjalan. Tidak boleh ada pengosongan sebelum ada putusan hukum tetap,” tegasnya, seraya meminta pemerintah dan aparat penegak hukum memberikan perlindungan.
Menyadari bahwa sengketa ini melibatkan institusi di bawah naungan TNI, warga tidak hanya fokus pada jalur hukum semata. Sebagai upaya damai dan bermartabat, pada 29 Oktober 2025, 42 warga secara kolektif mengirimkan surat resmi kepada Menteri Pertahanan, Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin.
Surat tersebut berisi permohonan agar Kementerian Pertahanan bersedia turun tangan menjadi mediator antara warga dan Inkopal. Surat itu ditembuskan ke Majelis Hakim dan Panitera PTUN Jakarta, menjadi simbol itikad baik warga untuk mencari penyelesaian yang adil tanpa konfrontasi berkepanjangan.
“Kami masih percaya TNI adalah bagian dari rakyat, dan rakyat harus dilindungi oleh TNI. Kami berharap Menhan membuka ruang komunikasi demi penyelesaian yang adil dan bermartabat,” tutup Subali.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Kemenhan atas permohonan mediasi tersebut. Sidang lanjutan PTUN dijadwalkan pekan depan dengan agenda penting, pemeriksaan saksi ahli dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang akan menjadi kunci pembuktian bagi nasib 42 keluarga di Ruko Marinatama. (And)
