Akar yang Tak Pernah Pudar
Di tengah samudra kehidupan yang luas, di mana gelombang pasang silih berganti, dan badai seringkali datang tanpa permisi, ada sebuah mercusuar yang cahayanya tak pernah redup. Ada sebuah dermaga tempat perahu jiwa selalu bisa berlabuh. Itulah keluarga. Bukan terbuat dari permata atau emas yang berkilauan di permukaan, melainkan dari untaian kasih yang terjalin dalam jiwa, dari helaan napas kebersamaan yang menyejukkan.
Mereka adalah akar yang menopang batang kala dahan bergoyang diterpa angin kencang. Mereka adalah mata air jernih yang membasahi dahaga di padang gersang perjuangan. Dalam pelukan mereka, lelah menemukan istirahatnya, luka menemukan obatnya, dan air mata menemukan tangan untuk menyekanya. Mereka adalah bisikan semangat saat dunia seolah menutup telinga, uluran tangan pertama saat kaki tersandung dan jatuh.
Namun, seringkali perjalanan membentangkan jalan terjal yang berhasil kita daki. Puncak-puncak kesuksesan mulai terlihat, dan mentari kejayaan menyinari wajah. Kita berdiri tegak, merasa kuat, mungkin bahkan merasa tak terkalahkan. Kita menatap cakrawala yang baru, melupakan lembah gelap yang pernah kita lalui. Dalam gemuruh pujian dan sorak sorai dunia luar, suara-suara lembut yang selalu ada di sisi, perlahan tenggelam.
Kita merasa sayap telah tumbuh, siap terbang tinggi, melupakan sarang tempat kita pertama kali belajar merentangkannya. Kita merasa cukup kuat untuk berlayar sendiri, lupa pada kompas pertama yang menunjuk arah, lupa pada tangan-tangan yang mendorong perahu kita menjauhi karang saat badai menghantam.
Ah, ingatlah. Ingatlah siapa yang ada di sisi tatkala malam begitu pekat, dan bintang-bintang enggan menampakkan diri. Siapa yang memegang lentera kecil saat kita meraba dalam gelap kehancuran? Siapa yang suaranya menjadi melodi harapan saat hati remuk redam? Bukan mereka yang datang saat pesta pora, melainkan mereka yang bertahan saat sunyi melanda.
Keluarga bukanlah jubah kebesaran yang bisa dilepas saat tak lagi dibutuhkan, atau perhiasan yang disimpan saat sudah ada yang lebih berkilau. Mereka adalah kanvas tempat lukisan hidup kita bermula, benang merah yang mengikat setiap babak perjalanan. Mereka adalah potret abadi yang merekam tawa dan air mata, kekuatan dan kerapuhan kita.
Maka, jangan biarkan silau dunia membutakan mata hati. Jangan biarkan kesibukan merenggut waktu yang berharga. Hadirlah untuk mereka, dengarkan cerita mereka, bagikan senyum dan duka. Sirami akar itu agar terus tumbuh kuat, karena darinyalah keteduhan sejati berasal.
Keluarga, harta yang paling berharga, bukan karena bisa dihitung nilainya, melainkan karena keberadaannya yang tak tergantikan. Jagalah mereka, cintai mereka, karena dalam dekap merekalah, kita menemukan makna pulang yang sesungguhnya. (And)