Disudut Hening yang Begitu Membebani: Ketika Jiwa Hanya Ingin Dianggap Manusia

Aku berdiri. Bukan di pusat keramaian, bukan pula di tempat yang nyaman dan hangat, melainkan di sebuah sudut dunia yang terasa dingin, asing, dan tak lagi ramah. Di sinilah, dalam hening yang memekakkan, mimpi-mimpi yang dulu kujaga erat perlahan rebah, kehilangan bentuknya, luluh lantak oleh realitas yang keras. Harapan? Ia telah lama menjadi bisik lirih, nyaris tak terdengar, tenggelam di antara derai tawa ejekan yang entah datang dari mana, terasa bagai gema takdir yang kejam.

Bukan, aku tak pernah ingin menjadi 'hebat' dalam definisi dunia yang seringkali mengharuskan topeng ketangguhan yang tak kenal lelah. Keinginanku jauh lebih sederhana, nyaris remeh temeh bagi sebagian besar orang: aku hanya ingin dianggap. Dianggap ada, dianggap setara, dianggap layak berbagi ruang dan udara yang sama. Aku lelah menjadi 'bahan olokan' yang dijadikan hiburan sesaat, lelah menjadi 'beban' dalam pandang mata yang selalu tajam menghakimi, seolah keberadaanku saja adalah kesalahan, seolah aku ini memang tak pantas, tak layak berjalan sejajar dengan mereka yang langkahnya tampak begitu gagah dan ringan.

Percayalah, aku pernah mencoba. Pernah mengerahkan seluruh sisa tenaga untuk menguatkan langkah, walau setiap injakan terasa berat, tertatih, nyaris jatuh. Aku pernah mencoba tersenyum, memoleskan senyum tipis di permukaan wajah, berusaha menyembunyikan 'luka yang tak kasat mata' yang menganga di dalam sana – luka yang tak berdarah namun menguras habis energi jiwa. Aku berusaha tampil 'kuat' di hadapan mereka, orang-orang yang tak pernah tahu, dan mungkin tak pernah mau tahu, betapa beratnya beban, betapa menyesakkannya gumpalan derita di dalam dada ini.

Namun, dunia… ah, dunia ini terasa seperti entitas jahil yang sengaja menertawakanku. Dari balik tirai takdir yang tak teraba, ia seolah bermain-main. Saat aku mengulurkan tangan, berharap ada sandaran sekecil apa pun, ia justru melempariku dengan batu yang menambah luka. Saat kakiku sudah terlalu lelah, lututku gemetar, napasku tersengal, ia justru menyuruhku berlari lebih cepat, seolah mengejar sesuatu yang takkan pernah bisa kugapai. Lingkaran keputusasaan yang terasa begitu sempurna.

Semua ini bukan tentang menuntut kemewahan atau pengakuan besar. Aku hanya ingin 'dimengerti'. Sedikit saja. Ingin 'dihargai', bahkan untuk usaha kecil yang kulakukan setiap hari hanya demi bertahan. Ingin 'didengar', didengar sungguh-sungguh, didengar tanpa label prasangka, tanpa vonis yang dijatuhkan bahkan sebelum aku membuka mulut. Ingin 'dipeluk' – bukan pelukan fisik semata, tapi pelukan penerimaan, pelukan jiwa, tanpa 'dicaci' atau dibuat merasa semakin buruk.

Karena di balik wajah yang seringkali kupaksakan tenang, di balik sorot mata yang mungkin terlihat datar, ada sebuah 'jiwa yang retak', pecah perlahan, kepingannya berserakan di ruang sunyi paling dalam. Dan di balik diamku yang sering disalahpahami sebagai ketidakpedulian atau kelemahan, ada sebuah 'jerit' yang tak sempat, tak mampu, atau tak berani kusampaikan ke permukaan. Jerit yang terperangkap, menggaung dalam rongga dada.

Aku tak butuh dunia yang sempurna dengan segala janjinya yang seringkali palsu. Aku hanya mendambakan sebuah 'ruang kecil' saja, sebuah celah untuk sekadar 'bernafas', tanpa harus terus-menerus membuktikan kepada siapa pun, bahkan kepada diriku sendiri, bahwa aku juga manusia. Manusia yang sama layaknya, yang 'layak dicinta', yang layak mendapatkan kebaikan, bukan hanya 'disalahkan' atas segala ketidaksempurnaan yang kurasakan dan kualami.

Maka, tolong… jangan tanyakan lagi kepadaku, dengan nada heran atau jengkel, 'Kenapa kamu diam saja?'. Jangan desak aku untuk berbicara, untuk menjelaskan, untuk memberi suara pada apa yang kurasa. Karena sungguh, kadang-kadang, untuk mengucapkan 'satu kata' saja, satu kata sederhana untuk menjelaskan badai yang berkecamuk di dalam, terasa jauh 'lebih berat dari seluruh semesta' ini, semesta yang sedang kupikul sendiri, dalam diam, di sudut yang tak lagi ramah. (And) 


Topik Terkait

Baca Juga :