PADANG, SUMATERA BARAT – 25 Juni 2025 – Di bawah terik matahari Padang yang menyengat, hiruk pikuk proyek pembangunan jembatan Air Gadang di Jalan Nasional Ruas Bukit Putus-BTS Kota Padang seharusnya menjadi simbol kemajuan. Sebuah mahakarya infrastruktur senilai Rp. 12.678.744.000,00 – angka yang fantastis, terpampang megah di papan informasi proyek, menjanjikan konektivitas dan kemudahan. Namun, di balik kemegahan angka dan janji pembangunan, tersimpan kisah getir tentang para pekerja, nyawa-nyawa yang seolah tak berarti di mata para pembuat keputusan.
Pada tanggal 25 Juni 2025, tim awak media menyambangi lokasi proyek. Papan informasi berdiri tegak, merinci setiap detail: pelaksana PT. Arupadhatu Adisesanti, konsultan pengawas PT. Exxo Gamindo Perkasa KSO dan PT. Arci Pratama Konsultan, tanggal mulai 30 April 2025, dan waktu pelaksanaan 240 hari kalender. Sumber dana? APBN, uang rakyat yang dipercayakan untuk kesejahteraan.
Namun, pemandangan di lapangan jauh berbeda dari apa yang tertulis di atas kertas. Beberapa pekerja terlihat berjibaku dengan tanah dan material berat tanpa perlindungan yang memadai. Kaki-kaki telanjang menginjak bebatuan dan lumpur, tangan tanpa sarung tangan memegang sekop, dan kepala tanpa helm menghadapi potensi bahaya dari setiap ayunan alat.
Pak Wil (45), seorang warga lokal yang kerap menyaksikan aktivitas proyek, tak kuasa menahan keprihatinannya. "Kasihan kita sama pekerja," ucapnya dengan suara serak, pandangannya tertuju pada para pekerja yang tak mengenakan sepatu bot. "Coba lihat, mereka tidak pakai sepatu boots seadanya kaki mereka tertusuk paku atau dihimpit materiil berat kan bahaya tu." Suaranya memancarkan kepedulian tulus, sebuah kontras tajam dengan apa yang terlihat.
Nedi (39), warga lain yang sering melintas di area proyek, juga menyuarakan kekecewaannya. "Sangat menyayangkan kurangnya rasa kepedulian baik rekanan maupun PPK-2.3 atas adanya pembiaran terhadap keselamatan pekerja," ujarnya, ekspresinya dipenuhi rasa tidak percaya. Mengapa di proyek sebesar ini, dengan dana miliaran rupiah, keselamatan dasar para pekerjanya justru terabaikan?
Seorang pengamat konstruksi yang enggan disebut namanya memberikan analisis tajam. "APK (Alat Pelindung Kerja) dan APD (Alat Pelindung Diri) sangat penting untuk pekerja konstruksi jembatan," tegasnya. Ia menjelaskan, pekerjaan konstruksi jembatan melibatkan berbagai risiko: jatuh dari ketinggian, tertimpa benda berat, paparan bahan kimia, hingga kebisingan. Helm, sarung tangan, sepatu keselamatan, kacamata pengaman, rompi keselamatan, hingga alat pelindung pernapasan dan alat pelindung jatuh adalah bukan sekadar aksesori, melainkan garda terdepan perlindungan.
"Dengan menggunakan APD dan APK yang tepat, risiko terjadinya kecelakaan kerja dapat diminimalkan," lanjutnya. "Ketika pekerja merasa aman dan terlindungi, mereka dapat bekerja dengan lebih fokus dan efisien. Hal ini pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas proyek." Lebih dari itu, penggunaan APD dan APK adalah kewajiban yang diatur dalam peraturan perundangan mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), sebuah standar minimum yang seharusnya dipatuhi tanpa tawar-menawar. "Penggunaan APK dan APD bukan hanya merupakan tindakan pencegahan, tetapi juga merupakan investasi dalam keselamatan dan kesehatan pekerja konstruksi jembatan," pungkasnya, menekankan bahwa ini adalah tentang menciptakan lingkungan kerja yang aman, produktif, dan berkelanjutan.
Namun, di proyek Jembatan Air Gadang, narasi ideal ini seolah terdistorsi. Pertanyaan besar menggantung di udara: mengapa standar keselamatan dasar ini diabaikan? Siapa yang bertanggung jawab atas pembiaran ini?
Ketika awak media mencoba mencari jawaban, menghubungi Yan Purwandi, ST (PPK 2.3) PJN II Sumbar, sebuah respons yang paling mengkhawatirkan justru muncul: "diam seribu bahasa." Sikap bungkam ini seolah menjadi simbol ketidakpedulian, gambaran nyata bahwa nyawa para pekerja ini mungkin hanya dianggap sebagai bagian kecil dari angka-angka besar dalam sebuah proyek.
Insiden ini bukan hanya tentang kurangnya APD, tetapi juga cerminan dari kegagalan sistemik dalam mengutamakan keselamatan manusia di atas keuntungan dan jadwal proyek. Di tengah ambisi pembangunan yang menggebu, semoga kisah para pekerja Jembatan Air Gadang ini menjadi pengingat yang menyakitkan namun vital: bahwa di balik setiap struktur megah, ada keringat, kerja keras, dan yang terpenting, nyawa manusia yang pantas mendapatkan perlindungan maksimal. (And)