PADANG - 30 JUNI 2025 - Langit biru Padang membentang luas, mengiringi gaung peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-32. Di tengah semaraknya momen penting ini, sebuah pesan bijak mengalir dari Dr. Ir. Era Sukma Munaf, S.T., M.M., MT, sosok yang kini memimpin Dinas Bina Marga, Cipta Karya, dan Tata Ruang (BMCKTR) Provinsi Sumatera Barat. Bukan sekadar deretan kata, melainkan sebuah renungan mendalam yang menyentuh inti dari setiap dinamika keluarga: hati seorang anak.
"Sejatinya, kenakalan anak bukan lahir dari niat membangkang," ujar Era Sukma Munaf, suaranya tenang namun penuh makna, seolah memecah kebuntuan pandangan umum tentang kenakalan remaja. "Tetapi merupakan bentuk protes karena merasa tidak dipahami." Kalimat ini mengalirkan pemahaman baru, mengubah stigma kenakalan menjadi sebuah panggilan, sebuah jeritan hati yang terabaikan. Ini bukan tentang anak yang sengaja melawan, melainkan tentang anak yang mencari koneksi, mencari validasi, dan sayangnya, tidak menemukannya.
Ia melanjutkan dengan sebuah ilustrasi yang begitu nyata dalam kehidupan sehari-hari orang tua. Bayangkan seorang anak dengan mata berbinar-binar menyampaikan keinginannya. Mungkin itu mainan baru, gawai impian, atau sekadar waktu bermain tambahan. Orang tua, dengan segala pertimbangan dan keterbatasan, mungkin tidak dapat memenuhi keinginan tersebut. Namun, di sinilah letak kesalahannya: "Ketika anak memiliki keinginan dan orang tua mampu memenuhinya, namun tidak menjelaskan mengapa keinginan itu tidak bisa diberikan, maka anak merasa diabaikan." Sebuah pukulan telak bagi setiap orang tua yang pernah merasa dilema. Rasa diabaikan itu, tutur Era Sukma, adalah bibit awal dari apa yang kemudian kita sebut 'kenakalan'.
Narasinya begitu kuat karena mengajak kita untuk bercermin. Berapa banyak dari kita yang, karena kesibukan atau mungkin kurangnya kesabaran, melewatkan momen krusial untuk menjelaskan? Kita cenderung memberikan penolakan tanpa disertai alasan yang jelas, tanpa memberikan ruang bagi sang anak untuk memahami konteks di balik 'tidak'. Dan di sinilah, di celah komunikasi yang terputus itu, munculah benih-benih frustrasi yang meledak dalam bentuk perilaku yang kita labeli sebagai 'nakal'.
Namun, Era Sukma Munaf tidak berhenti pada diagnosis masalah. Ia juga menawarkan resep, sebuah solusi yang terdengar sederhana namun memiliki dampak luar biasa. "Jika orang tua mau meluangkan waktu untuk menjelaskan dengan bijak bahwa tidak semua keinginan layak untuk dikabulkan, maka anak akan belajar memahami, bukan memberontak." Kata 'bijak' menjadi kunci di sini. Ini bukan sekadar penolakan, melainkan sebuah proses edukasi, sebuah kesempatan untuk menanamkan pemahaman tentang realitas dan prioritas. Dengan penjelasan yang tulus dan sabar, anak diajak untuk melihat gambaran yang lebih besar, untuk memahami bahwa dunia tidak selalu berputar sesuai keinginannya. Dari sana, tumbuhlah kematangan emosional dan kemampuan untuk beradaptasi, bukan resistansi.
Pada akhirnya, Era Sukma Munaf merangkum esensinya dalam sebuah kalimat penutup yang patut diukir dalam benak setiap orang tua: "Komunikasi yang terbuka dan jujur menjadi kunci terbentuknya karakter yang baik dalam diri anak.” Ini adalah fondasi. Bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan materi, tetapi tentang memenuhi kebutuhan emosional akan pengertian dan pengakuan. Ketika anak merasa didengar, dihargai, dan dipahami, mereka akan tumbuh menjadi individu yang memiliki karakter kokoh, pribadi yang mampu menghadapi tantangan hidup dengan kepala tegak, bukan karena mereka selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan, tetapi karena mereka memahami mengapa kadang kala mereka tidak mendapatkannya.
Pesan Era Sukma Munaf di Harganas ke-32 ini adalah pengingat bahwa keluarga adalah sekolah pertama dan utama. Dan di sekolah itu, mata pelajaran terpenting adalah komunikasi, kejujuran, dan empati. Inilah kunci untuk membuka potensi terbaik dalam diri setiap anak, dan pada gilirannya, membentuk generasi masa depan yang lebih matang, bijaksana, dan berkarakter. (And)