PADANG - 26 JULI 2025 - Langit biru di atas Padang membentang luas, dihiasi awan putih yang berarak pelan. Namun, di bawahnya, di sebuah lapangan hijau sintetis yang dikelilingi pagar jaring, ada gurat kekecewaan yang tak bisa disembunyikan dari wajah Mastilizal Aye. Ketua Askot PSSI Padang, yang juga dikenal sebagai Wakil Ketua DPRD Kota Padang, tampak termangu. Di kejauhan, siluet gunung menjulang gagah, seolah menjadi saksi dari beban yang dipikulnya.
Mastilizal Aye, sosok yang dikenal dengan dedikasi tak berujung pada dunia sepak bola Padang, terlihat menunduk sesaat, kemudian menatap lurus ke depan dengan pandangan nanar. Di tangannya, seolah tergenggam harapan yang kian menipis. Dalam balutan seragam olahraga biru-putih bergaris, dengan angka 17 tertera jelas di celananya, ia berdiri tegak namun dengan aura letih yang terpancar jelas. Di dekatnya, seorang pemain lain dengan seragam kuning bernomor punggung 10 tampak berjalan menjauh, seolah ikut merasakan atmosfer berat yang menyelimuti.
Suasana lapangan yang seharusnya penuh semangat, kini terasa sendu. Papan sponsor dengan tulisan "KNPI CUP" dan "7-A TOP SCORE" di latar belakang seakan menjadi pengingat akan gairah sepak bola yang ingin ia kobarkan, namun terhambat oleh tembok tak kasat mata. Kemudian, ia mengangkat kedua tangannya ke atas, seolah menyerah atau mungkin, mencari kekuatan dari langit. Senyum tipis, mungkin lebih tepat disebut senyum pahit, terlukis di bibirnya. Sebuah isyarat keputusasaan yang mendalam.
"Kalau Indak Juo Respon Orang-orang ko, Awak bialah Urus sepakbola Rekreasi Sajo Lai," ujarnya lirih, suaranya sedikit tercekat oleh emosi. Kalimat itu bukan sekadar keluhan, melainkan sebuah jeritan hati. Sebuah pengakuan pahit bahwa perjuangannya untuk memajukan sepak bola di kota tercinta ini, tampaknya menemui jalan buntu. Respon yang diharapkan, dukungan yang diimpikan, seolah tak kunjung datang dari pihak-pihak yang seharusnya peduli.
Ia melanjutkan, dengan nada yang semakin memberat, "Awak bialah jadi Penggemar Sajo. Menepi... lebih baik dari pado baurusan dengan mereka yang tidak mengerti dan tak peduli..." Kata "menepi" begitu kuat, menggambarkan kelelahan dan rasa frustrasi yang memuncak. Pilihan untuk mundur, menjadi penonton dari pinggir lapangan, terasa lebih damai daripada terus berjuang dalam ketidakpedulian. Ini adalah refleksi dari perjuangan seorang pemimpin yang merasa tak dihargai, upaya yang tak dilihat, dan dedikasi yang tak disambut.
Namun, di tengah-tengah kekecewaan itu, terselip secercah harapan, sebuah doa yang tulus. "Semoga Bangun Pendekar Minang," harapnya. Kalimat penutup ini adalah sebuah seruan, sebuah asa agar semangat dan kekuatan dari "pendekar-pendekar Minang" bangkit kembali. Sebuah harapan agar ada generasi atau pihak lain yang akan melanjutkan estafet perjuangan, yang akan peduli dan berjuang untuk kemajuan sepak bola Ranah Minang.
Kisah Mastilizal Aye di lapangan hijau hari itu adalah cerminan dari tantangan besar yang dihadapi banyak pegiat olahraga di daerah. Dedikasi tanpa pamrih, pengorbanan waktu dan tenaga, seringkali berbenturan dengan realitas apatisme dan kurangnya dukungan. Namun, dari suara kekecewaan ini, semoga lahir inspirasi baru, menggugah kesadaran, dan membangkitkan kembali gairah untuk memajukan sepak bola Padang, demi masa depan yang lebih cerah bagi "Pendekar Minang". (And)