-->
  • Jelajahi

    Copyright © Portalanda
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Ketika Pihak Sekolah Menjadi Kontraktor: Pro-Kontra Rp100 Miliar Revitalisasi di Ranah Minang

    Rabu, 30 Juli 2025, Juli 30, 2025 WIB Last Updated 2025-07-31T04:03:06Z

    Angin segar berhembus dari Jakarta, membawa kabar gembira bagi dunia pendidikan di Sumatera Barat. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengalokasikan dana fantastis, lebih dari Rp100 miliar, untuk program revitalisasi sekolah di Ranah Minang pada tahun 2025. Sebuah mega proyek yang menyasar SMA, SMK, dan SLB, dengan nilai bantuan berkisar antara Rp200 juta hingga Rp1,2 miliar per sekolah. Niatnya mulia: memastikan anak-anak Minang belajar di fasilitas yang layak dan modern. Namun, seperti layaknya riak di permukaan air, kebijakan ini turut memunculkan gelombang pro dan kontra yang patut direnungkan bersama.

    Skema yang dipilih Kemendikbudristek melalui Program Peningkatan Sarana Prasarana Sekolah (P2SP) cukup mencengangkan. Dana akan ditransfer langsung ke rekening sekolah penerima, dan seluruh pelaksanaan pembangunan akan dilakukan dengan sistem swakelola oleh pihak sekolah. Artinya, para kepala sekolah dan guru yang selama ini berjibaku dengan kurikulum, nilai siswa, dan kegiatan ekstrakurikuler, kini harus mengambil peran baru sebagai manajer proyek, pengawas konstruksi, hingga penentu kualitas bangunan.


    Bayangkan, seorang kepala sekolah yang mungkin lebih akrab dengan tumpukan buku pelajaran atau laporan kemajuan siswa, kini dihadapkan pada tumpukan rencana anggaran biaya, spesifikasi teknis, atau jadwal proyek. Apakah ini tidak terlalu membebani?


    Kekhawatiran pun segera mencuat dari berbagai penjuru. Banyak pemerhati pendidikan melayangkan pertanyaan kritis: Apakah sekolah memiliki kapabilitas dan keahlian di bidang konstruksi? Sebuah bangunan, apalagi fasilitas publik seperti sekolah, bukan sekadar menumpuk bata dan semen. Ia melibatkan perhitungan struktural, standar keselamatan, estetika arsitektur, dan ketahanan terhadap bencana – apalagi di Sumatera Barat yang rawan gempa. "Sekolah seharusnya fokus mendidik siswa, bukan menjadi pelaksana proyek bangunan. Kalau ada kekurangan kualitas, siapa yang akan bertanggung jawab?" ujar seorang pemerhati pendidikan yang enggan disebut namanya, menyuarakan kegelisahan publik. Kekhawatiran akan kualitas pembangunan yang tidak sesuai standar teknis bukanlah isapan jempol belaka; ia adalah potensi bom waktu yang bisa berujung pada permasalahan dan kegagalan bangunan di kemudian hari.


    Di sisi lain, kebijakan swakelola ini bak petir di siang bolong bagi para kontraktor lokal di Sumatera Barat. Mereka yang selama ini menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur di daerah, kini harus menelan pil pahit. Pintu kesempatan untuk terlibat dalam proyek bernilai ratusan miliar rupiah ini seolah tertutup rapat.


    Rasa kecewa itu nyata. Bukan hanya soal keuntungan yang hilang, tetapi juga tentang perputaran ekonomi daerah yang terhambat. Proyek konstruksi adalah mesin penggerak ekonomi mikro dan makro. Ia melibatkan ribuan pekerja, pemasok material, transporter, hingga warung-warung kecil di sekitar lokasi proyek. Ketika proyek diswakelola, sebagian besar perputaran uang mungkin hanya terjadi di level sekolah, memangkas potensi efek berganda bagi perekonomian lokal. Kontraktor lokal menilai, ini bukan hanya menghilangkan kesempatan bisnis, tetapi juga menghambat perputaran ekonomi di daerah dan melemahkan geliat sektor jasa konstruksi yang justru membutuhkan dorongan.


    Memang, niat pemerintah untuk mempercepat revitalisasi sekolah patut diapresiasi. Mungkin ada pertimbangan efisiensi atau transparansi di balik keputusan swakelola. Namun, kebijakan yang baik seharusnya menguntungkan berbagai pihak, bukan untuk menyingkirkan satu pihak dan mengunggulkan pihak lain. Apalagi, berkaitan dengan jasa konstruksi, jika tak dikerjakan ahlinya, bakal berujung permasalahan dan kegagalan bangunan di kemudian hari. Kita tak ingin gedung sekolah yang seharusnya menjadi tempat mencetak generasi emas, justru menjadi monumen kegagalan yang membahayakan.


    Mungkin sudah saatnya Kemendikbudristek meninjau ulang kebijakan ini dengan lebih cermat. Kolaborasi antara sekolah sebagai penerima manfaat dan kontraktor lokal sebagai pelaksana yang profesional bisa menjadi solusi win-win. Sekolah tetap fokus pada pendidikan, sementara pembangunan diserahkan kepada ahlinya. Dengan begitu, kualitas bangunan terjamin, perputaran ekonomi daerah bergerak, dan tujuan mulia revitalisasi sekolah dapat tercapai tanpa menyisakan dilema.


    Bukankah tujuan utama adalah menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan berkualitas bagi anak-anak bangsa, bukan sekadar menghabiskan anggaran?


    Padang, 31 Juli 2025

    Penulis: Andarizal, "Wartawan biasa"



    Komentar

    Tampilkan

    Terkini