-->
  • Jelajahi

    Copyright © Portalanda
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Mahalkah Waktu untuk Orang Tua?

    Selasa, 12 Agustus 2025, Agustus 12, 2025 WIB Last Updated 2025-08-12T15:20:46Z

    Di sebuah sudut kota Padang, sore itu merambat pelan bersama embusan angin yang membawa aroma laut. Di genggaman seorang Ayah, ponsel tua itu bergetar. Sebuah pesan telah terkirim, bermula dari kerinduan yang sederhana.


    "Assalamualaikum, Sibuk Nak?"


    Ayah, yang mungkin tengah duduk di teras, membayangkan wajah putrinya. Ia bertanya bukan hanya tentang kesibukan, melainkan juga tentang ketersediaan hati. Ia sedang merancang sebuah perjalanan, sebuah kunjungan, yang ia harapkan akan disambut dengan senyum. Jarak antara Padang dan Linggau terasa begitu jauh, namun keinginan untuk bertemu mengikis segala keraguan.


    Tak lama, balasan itu datang. Cepat, singkat, dan teramat lugas.


    "Waalaikumsalam, Ngapo, Sibuk aku."


    Satu kalimat, tiga kata yang seolah membatasi ruang dan waktu. Di ujung sana, mungkin sang putri memang benar-benar disibukkan oleh pekerjaan, oleh tuntutan hidup yang tak bisa ditawar. Namun, di balik layar ponsel itu, ada nada yang tak terucap: ketergesaan, kelelahan, dan seolah tidak ada celah untuk Ayah.


    Hati Ayah mengkerut. Namun, ia tidak menyerah. Ia mencoba meraba-raba kembali, mencari celah lain.


    "Ayah pengen main ke Linggau, takutnya dak ado."


    Ia tidak menuntut, hanya mengutarakan keraguan. Ia takut datang dan mendapati rumah putrinya kosong, tidak ada yang menyambut. Pertanyaannya adalah sebuah pengakuan ketidakberdayaan, sebuah harapan agar putrinya berkata, "Datanglah, Ayah. Aku ada di sini."


    Namun, jawaban yang diterima bukanlah harapan itu.


    "Kerumah Abang be, Kan ado abang, Aq banyak gawe."


    Jawaban itu praktis, logis, dan menyelesaikan masalah dengan efisien. Ada saudara yang lain. Ada solusi lain. Namun, jawaban itu melukai. Ia menempatkan Ayah sebagai tugas yang bisa dialihkan, sebuah agenda yang bisa dioper ke orang lain. Sang putri, yang mungkin tidak menyadari dalamnya luka yang ia goreskan, hanya berpikir tentang tumpukan pekerjaannya, tentang tenggat waktu, tentang hidupnya yang kini tak lagi sama seperti dulu, saat ia masih bisa berlari menyambut kepulangan Ayah.


    Di balik layar, gema pesan itu terasa begitu dingin. Bagi Ayah, pesan itu seolah berkata, "Ayah, jangan datang kepadaku. Aku tidak punya waktu."


    Dan di ujung percakapan yang singkat itu, muncullah sebuah kalimat yang menusuk, bukan karena marah, melainkan karena perihnya penerimaan.


    "Yolah, artinya Ayah dak boleh ke rumah. Mokasih."


    Kata "Mokasih" (Terima kasih) yang terucap di akhir itu bukanlah sebuah ucapan syukur. Ia adalah gema kesepian, sebuah pengakuan pahit bahwa pintu rumah putrinya, untuk saat ini, telah tertutup rapat. Ini bukan tentang izin, melainkan tentang pengakuan akan sebuah penolakan.


    Kisah percakapan singkat ini adalah potret kecil dari jutaan dinamika keluarga modern. Sebuah pesan singkat yang memisahkan jarak, bukan secara fisik, tetapi secara emosional. Sebuah pengingat bahwa terkadang, di antara kesibukan yang mengejar, kita melupakan satu hal yang paling penting: bahwa orang tua tidak butuh hadiah mahal, mereka hanya butuh waktu. Mereka tidak butuh janji-janji, mereka hanya butuh sebuah kehadiran. Karena waktu tidak pernah menunggu, dan pesan singkat terakhir yang menyakitkan mungkin adalah satu-satunya yang akan kita kenang. 


    Padang, 12 Agustus 2025

    Penulis: Andarizal

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini