Dalam remang senja yang memudar, ada sebuah kisah yang tak lekang oleh zaman. Sebuah kisah tentang sosok mungil yang tumbuh, menapaki jejak bayangan ayahnya. Anak perempuan. Dalam Islam, ia adalah anugerah terindah yang diturunkan dari langit, sebuah janji surga bagi mereka yang merawatnya dengan cinta. Ia adalah permata hati, penjaga pintu neraka bagi orang tuanya, dan pelita yang menerangi jalan kehidupan.
Namun, di balik takdir mulia ini, seringkali tersembunyi sebuah keajaiban lain, kemiripan wajahnya dengan sang ayah. Sebuah cermin yang memantulkan sosok pelindung, cinta pertama, dan pahlawan sejati dalam hidupnya. Wajah yang seringkali menjadi kanvas tempat genetik melukiskan kisahnya sendiri.
Secara biologis, ini adalah sebuah tarian gen yang mempesona. Saat benih kehidupan ditanam, 50% gen sang ayah dan 50% gen sang ibu menyatu. Namun, seringkali, gen-gen dominan ayah yang lebih kuat, bagaikan seniman yang tak sabar, melukiskan fitur wajahnya pada rupa sang putri. Hidung yang sama, mata yang berbinar serupa, atau senyum yang melengkung pada sudut yang persis sama. Ini bukan sihir, melainkan sains yang merangkai takdir dalam setiap helai DNA.
Namun, di tanah di mana cerita berbisik di antara pepohonan, kemiripan ini memiliki makna yang jauh lebih dalam. Dalam budaya Indonesia dan Melayu, wajah anak perempuan yang mirip ayahnya bukanlah sekadar kebetulan. Ini adalah sebuah puisi alam. Ada yang percaya bahwa ini adalah pertanda keberkahan yang akan datang, sebuah janji rezeki yang akan mengalir deras ke pangkuan sang ayah. Seolah-olah alam semesta berkata, “Teruslah mencintai dan melindunginya, karena ia adalah pembawa keberuntungan bagimu.”
Lebih dari itu, kemiripan ini adalah simbol dari ikatan jiwa yang tak terputus. Anak perempuan seringkali merasa lebih dekat dengan ayahnya, sosok pertama yang mengajarkan kekuatan dan ketabahan. Ayah adalah gunung yang melindungi, tempat ia bersandar ketika badai datang. Ia adalah sosok yang memupuk rasa percaya diri, mengajarkan bahwa ia adalah pribadi yang berharga. Maka, kemiripan wajah itu adalah cerminan dari cinta yang terpatri, sebuah jejak fisik dari hubungan emosional yang begitu kuat.
Tanggung jawab seorang ayah terhadap putrinya dalam Islam jauh melampaui sekadar nafkah. Ia adalah pendidik, pembimbing, dan pahlawan. Ia harus mendidik putrinya dengan akhlak mulia, melindunginya dari bahaya, dan mempersiapkannya untuk menjadi seorang ibu yang akan melahirkan generasi penerus yang saleh. Ayah yang gagal menunaikan tanggung jawab ini, yang tidak dekat dengan putrinya, berisiko meninggalkan luka batin yang dalam. Luka yang dapat menggerus harga diri, menciptakan kegelisahan, dan menghambatnya dalam menjalin hubungan sehat di masa depan.
Maka, kemiripan wajah bukanlah segalanya. Ia hanyalah pengantar, sebuah pembuka narasi. Kisah sesungguhnya adalah tentang bagaimana seorang ayah menunaikan amanahnya, merawat anugerah yang dititipkan kepadanya. Ia adalah tentang cinta yang tak bertepi, bimbingan yang tulus, dan teladan yang abadi.
Pada akhirnya, wajah seorang anak perempuan yang mirip ayahnya adalah sebuah puisi yang tak terucapkan. Sebuah lirik yang mengisahkan cinta, takdir, dan janji abadi antara seorang ayah dan putrinya. Ia adalah bukti bahwa di balik setiap wajah, tersembunyi cerita tentang hati yang saling terhubung, dari masa lalu hingga masa depan.
Padang, 19 September 2025
By: Andarizal