-->
  • Jelajahi

    Copyright © Portalanda
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Sampai Kapan Kita Bertahan untuk Sebuah Bayangan?

    Rabu, 10 September 2025, September 10, 2025 WIB Last Updated 2025-09-10T10:21:08Z

    Kita semua adalah pengelana di bumi ini, dan pada suatu titik, langkah kita akan terhenti di sebuah persimpangan. Di sanalah, seringkali, kita ditemukan berdiri kaku, menggenggam erat sebuah bayangan yang seharusnya sudah lama sirna ditelan waktu. Ia bukan lagi denyut nadi yang mengalirkan kehidupan, melainkan hanya sisa-sisa kenangan yang bersemayam layaknya debu di sudut hati yang paling rahasia. Kita, dengan segala daya, rela mengorbankan waktu, menguras tenaga, memeras pikiran, bahkan melukai perasaan terdalam, hanya demi menahan apa yang, sejatinya, tak lagi layak dipertahankan. Seolah-olah, melepaskan adalah sebuah deklarasi kegagalan, sebuah tanda menyerah pada takdir.

    Begitu seringnya kita menyematkan label "bagian dari diri kita" pada sesuatu yang, ironisnya, telah menjadi belenggu. Kita berjuang mati-matian, mengikis habis setiap butir energi yang kita punya, hanya demi sebuah ilusi yang menipu – ilusi bahwa hubungan yang kering kerontang akan bersemi kembali, bahwa perjuangan sepihak yang sunyi akan berujung pada simfoni indah. Namun, di bawah langit yang sama, ada pelajaran pahit yang harus kita telan, betapa percuma mempertahankan hubungan yang tak mengenal kata menghargai, apalagi empati. Hubungan itu laksana pohon tanpa akar, yang daunnya gugur sebelum sempat menghijau.


    Ia mungkin pernah menjadi taman impian, tempat kita menanam benih-benih harapan di kemudian hari, merangkai janji-janji masa depan yang cerah. Namun, kini, ia hanya menyisakan hamparan tanah tandus, retak dan kering. Setiap tetes air mata dan peluh yang kita curahkan tak lagi menumbuhkan bunga kebahagiaan, melainkan hanya membasahi luka yang tak kunjung kering, yang semakin menganga. Kita terus berharap, seolah-olah keajaiban akan turun dari langit, mengubah hati yang tak berperasaan menjadi samudra penuh cinta. Padahal, keajaiban yang sesungguhnya bukanlah tentang mengubah orang lain, melainkan tentang menemukan kembali kekuatan yang bersemayam dalam diri, kekuatan untuk memilih diri kita sendiri.


    Inilah saatnya, para pengelana hati, untuk mengumpulkan setiap serpihan keberanian yang tersisa. Keberanian untuk merelakan. Untuk melepaskan genggaman yang menyakitkan, yang telah lama melukai telapak tangan dan jiwa. Melepaskan tidaklah sama dengan menyerah pada nasib; sebaliknya, ia adalah sebuah deklarasi kemenangan tertinggi, sebuah pengakuan bahwa kita layak mendapatkan yang lebih baik, yang lebih tulus. Ada begitu banyak jiwa di luar sana yang siap menawarkan taman baru, di mana benih penghargaan dan empati bisa tumbuh subur, di mana mentari tak hanya menghangatkan kulit, tetapi juga jiwa.


    Maka, mari kita izinkan diri kita untuk merasakan pedihnya perpisahan, karena di balik badai rasa sakit itu, ada sebuah kebebasan yang menanti, laksana pelangi setelah hujan. Kebebasan dari belenggu tak terlihat yang selama ini kita ciptakan sendiri. Bebas untuk menemukan kembali harga diri yang sempat hilang, tertimbun di bawah reruntuhan kenangan. Bebas untuk memulai lembaran baru, sebuah kanvas kosong yang siap dihiasi oleh warna-warna cerah dari orang-orang yang benar-benar menghargai kita apa adanya, seutuhnya, tanpa syarat. Biarkan angin membawa pergi sisa-sisa kenangan pahit, dan biarkan hati terbuka untuk menyambut datangnya musim semi yang baru.


    Padang, 10 September 2025

    By: Andarizal

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini