Padang, kota yang dikenal dengan falsafah "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah" (Adat Berdasarkan Hukum Agama, Hukum Agama Berdasarkan Al-Qur'an), sejatinya menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan dan kejujuran. Namun, di tengah gemuruh pembangunan infrastruktur, muncul pemandangan yang menyayat integritas, Proyek-proyek jalan lingkungan dan drainase, yang sejatinya dibiayai oleh keringat rakyat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), seolah diselimuti tirai misteri. Plang nama proyek yang wajib dipajang, kini banyak yang raib.
Hilangnya plang nama ini bukan sekadar kelalaian teknis. Ini adalah sebuah pelanggaran serius terhadap asas transparansi dan akuntabilitas publik.
Peraturan perundang-undangan telah dengan gamblang menancapkan kewajiban ini. Mulai dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) hingga Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 (dan perubahannya) tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Aturan ini mewajibkan setiap pekerjaan fisik yang menggunakan dana negara baik APBN maupun APBD untuk memasang papan informasi. Plang itu harus memuat nama kegiatan, nilai kontrak, sumber dana, pelaksana, dan jangka waktu pengerjaan.
Ketika plang itu tidak ada, seketika proyek tersebut berubah status di mata publik menjadi "proyek siluman."
Narasi yang tersaji di lapangan adalah proyek drainase yang dikerjakan tanpa diketahui berapa anggarannya, atau pembangunan jalan lingkungan yang selesai tanpa warga tahu siapa kontraktor yang bertanggung jawab atas kualitasnya. Kecurigaan pun tak terhindarkan. Mengapa harus disembunyikan?
Isu ini menjadi semakin runyam, khususnya pada proyek-proyek yang bersumber dari dana Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) anggota dewan. Anggota dewan terpilih berkewajiban menyerap aspirasi dan merealisasikannya melalui Pokir, yang dananya tetap bersumber dari APBD.
Ironisnya, proyek-prokir inilah yang disinyalir paling sering abai dalam hal transparansi plang nama. Jika dana tersebut adalah uang rakyat yang diamanahkan kepada wakilnya, mengapa eksekusinya terkesan seperti donasi pribadi yang tak perlu dipertanggungjawabkan kepada publik?
Anggota dewan, sebagai pengawas, seharusnya menjadi garda terdepan dalam memastikan aturan ini ditaati, bukan malah menjadi bagian dari masalah. Ketidakjelasan ini berpotensi merusak citra dewan dan menumbuhkan sikap apatis serta hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi legislatif dan eksekutif.
Ketidakpatuhan ini bukan hanya soal etika, tetapi soal hukum. Kontraktor yang tidak memasang plang proyek berarti telah melanggar salah satu poin kunci dalam kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah dan Peraturan KIP. Sanksi administratif hingga denda semestinya menanti.
Namun, di atas sanksi formal, bahaya terbesar adalah terkikisnya akuntabilitas. Tanpa plang:
1 Pengawasan Publik Lumpuh: Warga tak bisa membandingkan kualitas pekerjaan dengan nilai anggaran.
2 Potensi Korupsi Meningkat: Ketidakjelasan informasi adalah lahan subur bagi mark-up anggaran dan pekerjaan yang 'asal jadi'.
3 Kualitas Proyek Diragukan: Kontraktor merasa tidak terikat oleh pengawasan publik, sehingga mutu pekerjaan dipertaruhkan.
Pemerintah Kota Padang, melalui Dinas terkait dan Inspektorat, harus mengambil sikap tegas. Tidak cukup hanya mengeluarkan teguran lisan. Pelanggaran sistematis ini memerlukan audit kepatuhan dan sanksi yang nyata, baik kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang lalai dalam pengawasan, maupun kepada kontraktor pelaksana.
Kota Padang harus memastikan setiap infrastruktur, sekecil apapun itu, berdiri di atas fondasi transparansi yang kokoh. Jika plang nama pun harus disembunyikan, lantas apa lagi yang sedang disembunyikan di balik proyek-proyek yang dibiayai oleh pajak rakyat Ranah Minang ini?
Hentikan 'Proyek Siluman'. Pasang Plang! Tegakkan KIP!
Padang, 22 Oktober 2025
Oleh: Andarizal
