PADANG – Di tengah hiruk pikuk kota, sebuah ironi menyelimuti proyek rehabilitasi bersejarah, Gedung Abdullah Kamil, di Jalan Diponegoro, Padang. Proyek yang dibiayai oleh kocek negara, melalui APBN Tahun 2025 dengan nilai fantastis Rp 3,4 Miliar lebih, ini seharusnya menjadi etalase tata kelola proyek yang profesional. Namun, pantauan di lapangan justru menampilkan pemandangan yang mengiris hati sekaligus melanggar hukum, pengabaian fatal terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Gedung Abdullah Kamil, dengan arsitektur khasnya, kini tengah dibenahi oleh CV. Panca Karya Satria sebagai kontraktor pelaksana, di bawah pengawasan CV. Cipta Seroja Consultant. Di ketinggian atap, persis di bawah langit Padang yang terik, terlihat beberapa pekerja beraktivitas memperbaiki rangka atap, menyerupai siluet yang menantang bahaya.
Ironisnya, mereka melakukannya tanpa perlengkapan dasar K3 yang wajib ada dalam setiap proyek konstruksi berisiko tinggi, tanpa sabuk pengaman (safety belt)/body harness, tanpa helm pelindung kepala, dan sepatu standar. Mereka berdiri tanpa jaring pengaman, seolah nyawa mereka hanyalah dadu yang siap dilempar oleh nasib.
Inilah puncak dari keteledoran. Proyek yang berada di bawah kewenangan Kementerian Kebudayaan ini secara terang-terangan menampar wajah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-undang tersebut adalah palu hukum yang mewajibkan pengusaha menyediakan lingkungan kerja yang aman dan Alat Pelindung Diri (APD) untuk mencegah kecelakaan fatal.
Pelanggaran ini bukan sekadar urusan administratif, ini adalah pelanggaran teknis serius yang berpotensi memicu tragedi. Dalam konteks hukum, kelalaian dalam K3 dapat dikenai sanksi berat, mulai dari:
* Sanksi Pidana: UU No. 1 Tahun 1970 mengancam pihak yang tidak menjalankan ketentuan dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000 (lima belas juta rupiah). Jika kelalaian ini berujung pada cedera atau kematian, sanksi pidana lain yang lebih berat dari KUHP juga menanti.
* Sanksi Administratif: Kontraktor juga dapat dikenai sanksi administratif, yang diatur dalam regulasi turunan K3 seperti PP No. 50 Tahun 2012 tentang Penerapan SMK3. Sanksi ini dapat berupa teguran tertulis, pembekuan kegiatan usaha, penghentian sementara pekerjaan, hingga pencabutan izin.
Pertanyaannya, di manakah peran Konsultan Supervisi? Tugas utama mereka adalah mengawasi. Ketika pekerja mengabaikan standar keselamatan, itu berarti fungsi pengawasan telah lumpuh total.
Proyek rehabilitasi aset budaya ini seharusnya menjadi simbol kebanggaan, namun kini menjadi simbol keteledoran. Mengapa proyek yang didanai pemerintah pusat harus mempertaruhkan nyawa pekerja dengan cara yang tidak etis dan ilegal? Anggaran yang dikeluarkan rakyat sebesar Rp 3,4 Miliar tersebut seharusnya menjamin standar pekerjaan tertinggi, termasuk menjamin bahwa setiap pekerja yang kembali ke rumah di sore hari dalam keadaan selamat.
Direktorat Jenderal Pengembangan Pemanfaatan dan Pembinaan Kebudayaan sebagai Satuan Kerja (Satker) yang bertanggung jawab harus segera bertindak tegas. Tidak ada toleransi untuk kelalaian K3, apalagi di proyek yang menggunakan dana publik dan memiliki risiko tinggi.
Sudah saatnya Dinas Ketenagakerjaan setempat melakukan inspeksi mendadak dan menghentikan pekerjaan di ketinggian hingga kontraktor benar-benar patuh. Kepatuhan K3 adalah harga mati, bukan pilihan tawar-menawar demi menghemat biaya operasional. Jangan sampai monumen budaya berdiri di atas darah dan air mata pekerja yang jatuh dari ketinggian karena kelalaian pihak-pihak yang telah dibayar mahal oleh negara.
PENUTUP: Ketegasan pengawasan dan penegakan hukum K3 adalah tolok ukur peradaban sebuah bangsa dalam menghargai nyawa manusia.
Padang, 6 November 2025
Penulis: Andarizal, Wartawan biasa
