Dalam Lembah Duka atau Puncak Bahagia: Menemukan Makna Kedekatan Ilahi

Hidup adalah hamparan luas dengan topografi yang senantiasa berubah. Kadang kita mendaki puncak kebahagiaan yang memesona, di mana mentari bersinar terik, bunga-bunga merekah indah, dan tawa mengalir ringan bagai air jernih. Di waktu lain, kita mungkin terperosok ke dalam lembah kesedihan yang kelam, di mana awan mendung menggelayut rendah, langkah terasa berat, dan hati diselimuti duka yang menyesakkan.

Dalam perjalanan yang penuh liku ini, sebuah renungan bijak yang konon diungkapkan oleh Andarizal mengetuk sanubari: "Kesedihan yang membuatmu dekat dengan Allah, itu lebih baik daripada kebahagiaan yang melalaikan engkau mengingat Allah." Lebih lanjut beliau menambahkan, "Cobaan dan ujian adalah cara Allah untuk menjadikan engkau kuat dalam menghadapi hidup ini."

Pernyataan ini, meski sederhana, menyimpan kedalaman makna yang luar biasa, mengajak kita menelisik kembali esensi sejati dari setiap rasa yang kita alami.

Ketika Duka Menjadi Jembatan

Mari sejenak merenungi bagian pertama dari nasihat tersebut. Kesedihan. Siapa yang tak pernah merasakan perihnya? Kehilangan orang terkasih, kegagalan yang meruntuhkan asa, sakit yang mendera raga, atau kekecewaan yang menghantam jiwa. Momen-momen ini seringkali adalah titik terendah kita, saat kekuatan diri serasa terkuras habis.

Namun, justru di dalam kerapuhan itulah, banyak dari kita menemukan jalan pulang. Saat segala sandaran dunia terasa rapuh, saat tak ada lagi tempat mengadu yang dirasa mampu menampung beban, hati secara fitrah akan menengadah ke langit. Dalam linangan air mata, dalam heningnya malam, kita memanggil Nama-Nya. Doa-doa yang terucap seringkali menjadi lebih tulus, pengakuan atas kelemahan diri menjadi lebih jujur, dan rasa ketergantungan kepada kekuatan Yang Maha Kuasa menjadi begitu nyata.

Kesedihan, dalam konteks ini, bukanlah akhir, melainkan sebuah jeda paksa yang mengalihkan pandangan kita dari hiruk pikuk dunia menuju ketenangan dzikrullah (mengingat Allah). Ia bisa menjadi jembatan yang kokoh, menghubungkan hati yang remuk dengan sumber segala kekuatan dan ketenangan abadi. Kesedihan seperti ini, walau pedih, membersihkan jiwa dari kotoran kesombongan dan keterikatan pada dunia fana.

Waspada di Tengah Riuh Rendah Bahagia

Sebaliknya, perhatikanlah kebahagiaan. Ia hadir dalam wujud kesuksesan, kelimpahan materi, kesehatan prima, atau hubungan yang harmonis. Rasanya manis, memabukkan. Namun, tanpa kesadaran yang utuh, kebahagiaan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Gemerlap dunia, tepuk tangan pujian, dan rasa aman yang semu dapat membuat kita lupa diri.

Kita mungkin mulai merasa bahwa segala pencapaian adalah hasil murni dari usaha kita sendiri, melupakan karunia dan izin dari Allah. Waktu yang seharusnya digunakan untuk bersyukur dan beribadah, perlahan terkikis oleh kesibukan menikmati hasil dunia. Hati menjadi keras, telinga tuli dari panggilan kebaikan, dan mata silau oleh fatamorgana kemewahan. Kebahagiaan yang melalaikan seperti ini, meskipun permukaannya indah, sejatinya menjauhkan kita dari sumber kebahagiaan yang hakiki, yaitu kedekatan dengan Allah.

Cobaan: Api yang Membentuk Baja

Kemudian, pernyataan kedua melengkapi hikmah ini: "Cobaan dan ujian adalah cara Allah untuk menjadikan engkau kuat dalam menghadapi hidup ini." Analogi yang sering digunakan adalah api yang menempa besi hingga menjadi baja yang kuat. Prosesnya panas, menyakitkan, penuh tekanan, namun hasilnya adalah material yang jauh lebih tangguh dan berdaya guna.

Allah SWT, dengan segala kebijaksanaan-Nya, mengirimkan cobaan bukan untuk menyiksa, melainkan untuk mendidik dan menguatkan hamba-Nya. Setiap kesulitan yang berhasil kita lalui dengan kesabaran dan tawakkal (berserah diri), mengukir kekuatan baru dalam jiwa kita. Kehilangan mengajarkan arti keikhlasan, kegagalan melatih ketabahan, sakit menguji kesabaran, dan kekurangan memupuk rasa syukur atas nikmat yang masih ada.

Melalui ujian inilah, keimanan kita diuji ketahanannya, kesabaran kita diasah ketajamannya, dan ketergantungan kita kepada Allah dimurnikan. Setiap cobaan adalah tangga menuju kedewasaan spiritual, menjauhkan kita dari kerapuhan dan ketergantungan pada selain-Nya, serta membentuk pribadi yang lebih resilien dalam menghadapi badai kehidupan di masa mendatang.

Merangkul Segala Ketentuan

Pesan mendalam dari pernyataan ini adalah ajakan untuk merangkul setiap takdir Allah, baik itu dalam bentuk kesedihan, kebahagiaan, cobaan, maupun ujian. Alih-alih larut dalam kesedihan tanpa arah atau terlena dalam kebahagiaan yang fana, kita diajak untuk menjadikannya sebagai sarana untuk kembali atau tetap berada di jalan Allah.

Kesedihan yang mengantarkan pada dzikir dan doa adalah anugerah tersembunyi. Kebahagiaan yang disyukuri dan digunakan di jalan kebaikan adalah nikmat yang berlipat ganda. Dan cobaan yang dihadapi dengan sabar dan tawakkal adalah proses pemuliaan diri di sisi-Nya.

Maka, tataplah hidup ini dengan kacamata keimanan. Dalam setiap tetes air mata atau hembusan nafas lega, temukanlah kehadiran Allah. Biarkan kesedihan membersihkan dan mendekatkan, biarkan kebahagiaan menjadi momentum syukur yang tak berkesudahan, dan biarkan cobaan membentukmu menjadi pribadi yang kokoh, yang kekuatan sejatinya bersumber dari Dzat Yang Maha Kuasa. Karena sungguh, perjalanan hidup seorang mukmin adalah tentang bagaimana ia senantiasa menemukan jalan kembali kepada Allah, dalam kondisi apa pun jua.

Padang, 28 April 2025


Topik Terkait

Baca Juga :