Senin 21 April 2025, Bagian 4: Pesan Perpisahan dan Doa dari Hati Orang Tua
Ponsel di genggaman bergetar, memecah lamunan getirku. Nama "kk" tertera di layar. Jemariku terasa kaku saat membuka pesan itu. Mataku menelusuri deretan kata yang tertera, kata-kata yang mengkonfirmasi kenyataan pahit yang baru saja kudengar.
"Alhamdulillah panggilan kerja kk sudah keluar Di PT. PSU Sumsel pak,"
Ah, jadi memang benar. Tak ada keraguan lagi. Kabar itu nyata.
"dan insyaallah kk berangkat besok tepatnya 22 April 2025 dengan bis SAN."
Besok? Secepat ini? Hanya dalam hitungan jam, ia akan pergi menjauh, menempuh jarak yang akan memisahkan kami.
Lalu, kalimat berikutnya muncul, kalimat yang berusaha menjembatani perpisahan ini dengan kenangan yang ada.
"kk mengucapkan terimakasih karena apak lah menjadikan kk anak bungsu apak."
Membaca kalimat itu... hatiku yang tadi remuk, kini terasa seperti dihangatkan sekaligus ditusuk. Jadi ia tahu? Ia tahu aku menganggapnya seperti anak sendiri? Ia merasakan ikatan itu? Tapi mengapa... mengapa ia tidak berbagi proses penting dalam hidupnya ini denganku?
"Dan kak berharap doa apak untuk kesuksesan kak kedepannya."
Permohonan doa. Permohonan doa dari 'anak' yang akan merantau.
"Sekali lagi terimakasih,"
Pesan itu berakhir. Kutatap layar ponsel itu lama sekali. Jemariku tak bergerak untuk membalas. Kata-kata yang terlintas di benakku terasa terlalu banyak, terlalu rumit, terlalu sarat emosi untuk diubah menjadi teks di layar kecil itu. Apa yang bisa kukatakan? 'Sama-sama'? 'Hati-hati'? Rasanya tidak cukup.
Di tengah keramaian tempat aku duduk, aku terhanyut dalam dialog internal yang sunyi. "Selamat jalan anakku, putri kecilku," bisik hatiku. Kata 'anakku' itu terasa begitu nyata, begitu pas. "Semoga kamu bisa sukses dan bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan." Itu doa tulus dari lubuk hati paling dalam.
"Apa yang tidak dapat kuberikan kepadamu selama ini jangan diingat, karena aku bukanlah tipe orang tua yang bisa memenuhi semua kebutuhan yang mungkin kamu inginkan," lanjut batinku, mengakui keteledoranku, melepas segala 'andai' dan 'seharusnya' yang mungkin pernah terlintas. Ini bukan tentang apa yang bisa kuberikan secara materi, tapi tentang apa yang sudah kami bagi, ikatan yang terjalin.
"Selamat jalan anakku, baik baik di rantau, jaga diri, jangan tinggalkan sholatnya, berdoalah selalu pada sang Pencipta agar kamu selalu dalam lindungan-Nya." Doa-doa ini mengalir begitu saja, doa seorang ayah yang melepaskan putrinya ke dunia yang lebih luas. Doa untuk keselamatannya di perjalanan, untuk kekuatan imannya di tanah rantau, untuk perlindungan dari segala marabahaya.
"Sebagai orang tua aku hanya bisa memberi doa semoga anaknya sukses dan berguna di tengah-tengah masyarakat." Itulah intisari harapanku. Kepergiannya memang menyakitkan, meninggalkan lubang kosong dalam rutinitas dan hatiku. Ada kekecewaan yang mungkin butuh waktu untuk reda. Tapi di atas semua itu, ada harapan dan doa yang tak terputus untuk kebaikan 'anak' yang akan memulai babak baru dalam hidupnya.
Aku tak membalas pesannya secara tertulis hari itu. Biarlah pesan itu menjadi penutup komunikasi kami di hari Senin yang penuh kejutan ini. Biarlah pelepasan dan doa terbaik kusimpan dalam hati, menemaninya dalam perjalanan menuju takdirnya di PT. PSU Sumsel. Senin, 21 April 2025, akan selalu terukir sebagai hari di mana sebuah pilar kecil dalam keseharian kami bergeser, membawa serta sebagian dari kehangatan yang selama ini kami bagi. Sebuah perpisahan yang tak diduga, namun harus diterima, dengan untaian doa dan restu yang mengiringi langkah ‘anak’ yang kini harus terbang lebih tinggi.
Bersambung ke Bagian 5.