Senin 21 April 2025 Sebuah Perpisahan yang Tak Diduga, Bagian 3: Petir di Dada dan Langkah yang Berat
"Pak, kk sudah diterima kerja oleh perusahaan di PT. PSU Sumsel pak,"
Suara "kk" masih terngiang. Kata-kata itu, yang mungkin diucapkannya dengan niat baik, untuk berbagi kabar gembira tentang pencapaiannya, bagiku... ia bagaikan petir yang menyambar tepat di dada. Bukan petir di langit dengan gemuruhnya, melainkan petir yang tak bersuara namun sanggup meruntuhkan apa saja yang ada di jalurnya. Sinar terangnya menghapuskan kebiasaan, menghapus tawa, menghapus momen berbagi yang telah terajut berhari, berbulan, bahkan bertahun lamanya.
Darahku seolah berdesir dingin, lantas hangat membakar. Napasku tercekat. Hati ini... rasanya seperti diremas, diremukkan berkeping-keping dalam sekecap mata. Selama ini, aku selalu berusaha hadir untuknya, mendengarkan keluh kesahnya, berbagi pandangan tentang pekerjaan, bahkan hal-hal personal. Aku telah menganggapnya putri kecil, anak bungsu yang kujaga, yang kuingatkan salat, yang kuajak bicara dari hati ke hati. Dan mereka, "kk" maupun bundanya, tak pernah sekalipun bercerita bahwa ia sedang mengajukan lamaran ke tempat lain. Tidak ada isyarat, tidak ada permintaan doa selama proses itu berjalan. Tahu-tahu, kabar yang datang adalah kabar kepergian.
Dengan perasaan berkecamuk hebat, antara shock, kecewa, sedih, dan rasa sakit yang mendalam karena merasa tidak dianggap dalam proses penting hidupnya, aku berusaha merespons. Mulutku bergerak, mengeluarkan kata-kata yang sangat berkebalikan dengan apa yang dirasakan hati.
"Oh, ya, bagus lah kalau begitu," kataku. Suara itu terdengar asing di telingaku sendiri, terlalu datar, terlalu dipaksakan. Padahal di dalam sini, badai tengah mengamuk. Hati ini remuk redam.
Tak sanggup berlama-lama di ruangan itu, di tengah rasa sakit yang tiba-tiba mendera, aku memutuskan untuk pergi. Langkahku terasa berat, namun aku harus segera keluar dari sana. Aku bangkit dari kursi, melangkah menuju pintu tanpa mempedulikan panggilan lembut dari bunda "kk" yang mungkin merasakan ada sesuatu yang tidak baik.
"Pak..." panggilnya lirih.
Aku tak menoleh, tak berhenti. Aku hanya perlu menjauh, mencari udara, mencari ruang untuk bernapas di tengah himpitan perasaan ini. Kutinggalkan kantor, kutinggalkan "kk" dan bundanya, kutinggalkan momen yang baru saja meruntuhkan pilar keseharianku.
Langit semakin kelabu saat aku berjalan menuju rumah makan terdekat. Makanan di depanku terasa hambar. Pikiranku melayang, kembali ke pertanyaan yang terus bergaung di kepala: kenapa? Kenapa anak dan ibunya selama ini tidak pernah bercerita tentang lamaran kerja itu? Kenapa baru sekarang, saat semua sudah pasti, saat lamaran sudah diterima, aku diberi kabar? Pertanyaan itu seperti pisau tumpul yang menggores luka di hati. Apa aku tidak cukup penting? Apakah hubungan kami selama ini hanya sebatas kulitnya saja?
Usai makan, aku membayar tanpa benar-benar sadar berapa yang kubayar, lalu pergi ke tempat di mana biasanya aku berkumpul dengan rekan-rekan lain. Mencari sedikit distraksi, mungkin, atau hanya perlu berada di antara orang lain agar tidak tenggelam dalam pikiran sendiri.
Saat itulah, ponselku bergetar lagi. Sebuah pesan masuk. Dari "kk".
Bersambung ke Bagian 4