Senin 21 April 2025 Sebuah Perpisahan yang Tak Diduga, Bagian 1: Pagi yang Berbeda

Senin itu, tanggal 21 April 2025, adalah hari yang terasa sedikit berbeda sejak embun pagi masih enggan meninggalkan dedaunan. Bukan karena cuaca, atau janji penting yang menunggu di depan. Perbedaan itu terasa samar, sebuah intuisi halus yang biasanya tak kuhiraukan, namun pagi itu ia seperti berbisik lebih keras. Tak biasanya aku dari rumah langsung menuju kantor, ke tempat di mana roda-roda pekerjaan berputar, di mana tawa dan keluh kesah kami beradu, tempat di mana ada ia – mitra kerja, sekaligus seseorang yang dalam diam telah kuanggap seperti anak bungsu sendiri.

Kantor masih sepi ketika aku tiba. Udara pagi yang sejuk sedikit terhalau begitu pintu kayu itu kubuka. Aroma khas ruangan yang berpadu dengan debu tipis menyambutku. Langkah pertama yang selalu kulakukan adalah menghidupkan komputer di meja. Layar monitor itu berkedip, memancarkan cahaya dingin yang perlahan membangunkan suasana kerja yang bisanya dihangatkan oleh kehadiran dua orang.

Jam di dinding terus berdetak, ritmenya terasa lebih lambat dari biasanya. Matahari semakin tinggi, sinarnya mulai menembus celah tirai jendela. Pukul sepuluh... namun kursi di seberang mejaku masih kosong. Tidak seperti "kk", sapaanku akrab untuknya, yang biasanya selalu lebih dulu tiba. Ia adalah orang pertama yang menyalakan lampu, merapikan meja, siap menyambut hari. Keterlambatannya pagi itu, meski hanya sesaat, terasa seperti not ganjil dalam melodi kebiasaan kami.

Ada keperluan mendesak di luar kantor, sebuah instansi yang harus kudatangi. Dengan sedikit kebingungan di hati karena "kk" tak jua muncul, aku memutuskan untuk mengunci kembali kantor dan bergegas pergi. Meninggalkan ruangan yang entah mengapa, pagi itu terasa lebih sunyi dan membisu dari biasanya. Ada jeda yang tak terisi, sebuah ruang kosong yang menunggu untuk diisi. Tapi aku tak tahu, jeda itu akan menjadi awal dari kekosongan yang jauh lebih besar. Bersambung ke Bagian 2.


Topik Terkait

Baca Juga :