Dari Gedung Dewan ke Petak Kebun: Wakil Ketua DPRD Padang Menemukan Hikmah di Balik Panen
Di sela denyut nadi politik yang tak pernah surut, di antara hiruk pikuk lobi dan maraton rapat yang menguras energi, terselip sebuah jeda berharga. Jeda yang dipilih bukan di ruang berpendingin atau arena publik gemerlap, melainkan di hamparan tanah kosong yang telah bersemi, di bawah sapaan mentari sore. Di sanalah, Mastlizal Aye, sosok yang mengemban amanah sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Padang, menemukan kedamaian yang otentik dan hikmah yang meresap hingga ke sanubari.
Baru saja tangannya kokoh berjabat dalam forum-forum resmi, mengesahkan kebijakan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Namun kini, tangan yang sama dengan lembut memetik hasil jerih payahnya, butir demi butir, buah demi buah, dari petak-petak kebun yang ia garap sendiri. Petai, jering (jengkol), dan cokelat – hasil bumi yang tak hanya lezat di lidah, tetapi juga simbol dari kesabaran dan ketekunan yang ia tanam bersama bibit-bibit itu.
Duduk sederhana di lantai, di antara sisa-sisa panen yang masih beraroma tanah segar, jauh dari kesan formal, seuntai kalimat bijak meluncur dari bibirnya. Bukan retorika politik, melainkan sebuah peribahasa lama yang menemukan relevansi baru dalam genggaman tangannya yang bergelut dengan tanah: "Lumayan di kumpuan Stek-stek," ujarnya santai. Sedikit demi sedikit, dikumpulkan, akan menjadi banyak. Sebuah filosofi kuno yang terbukti nyata di lahan yang ia olah.
Mungkin banyak yang tak pernah menduga. Di balik setelan jas rapi, sorot mata tajam saat adu argumen di ruang dewan, atau langkah tegap di koridor pemerintahan, ada hati yang begitu membumi, begitu dekat dengan tanah. Di tengah kepadatan tugas negara yang tak kenal henti, Mastlizal Aye selalu meluangkan apa yang ia sebut sebagai "waktu emas"-nya. Baginya, hitungan jam tak semata soal produktivitas dalam arti politis atau materi belaka, tetapi tentang keberkahan yang bisa ditanam, dirawat, dan kemudian dituai dari hal-hal yang mungkin dianggap sederhana, namun sesungguhnya amat fundamental.
Filosofinya begitu membumi, dalam arti harfiah maupun kiasan. Ia mengajak kita untuk melihat potensi di sekitar kita, terutama lahan-lahan kosong yang acap kali luput dari perhatian. Lahan kosong di samping rumah, di depan pekarangan, atau sudut-sudut tak terpakai lainnya – menurutnya – bisa disulap menjadi oase hijau yang memberi kehidupan. Jikalau dimanfaatkan dengan ketulusan untuk ditanami bibit cabai, ubi kayu, atau beragam tanaman lain, kebun mini itu pasti akan membuahkan hasil.
"Setidaknya jika tanaman tersebut sudah berbuah kita tidak mengeluarkan kocek lagi untuk itu," ujarnya, sebuah kalimat sederhana namun mengandung pesan yang dalam dan universal. Ini bukan hanya soal penghematan di tingkat rumah tangga seorang pejabat. Ini adalah sebuah ajakan, seruan bagi setiap warga Kota Padang, bahkan siapa saja, untuk melihat potensi di pekarangan mereka, sekecil apa pun itu. Mengubah lahan yang diam, yang hanya ditumbuhi ilalang, menjadi sumber pangan yang nyata. Mengurangi ketergantungan pada pasar, menumbuhkan kemandirian, dan yang terpenting, menumbuhkan rasa memiliki dan menghargai terhadap setiap butir pangan yang dikonsumsi, karena ia tumbuh dari tangan sendiri.
Kisah Mastlizal Aye dan kebunnya adalah narasi yang menggugah di tengah dinamika kehidupan modern yang serba cepat dan kompleks. Ia mengingatkan kita bahwa di balik peran publik yang besar, di tengah hiruk pikuk kekuasaan, ada nilai-nilai kesederhanaan, ketekunan, dan kebijaksanaan yang tak ternilai harganya. Nilai-nilai itu bisa dipetik, ditanam, dan dirawat dari aktivitas paling dasar manusia: bercocok tanam. Dari tanah, ia tidak hanya memanen cabai, ubi, petai, jengkol, atau cokelat, tetapi juga memanen keberkahan, memanen ketenangan jiwa, dan memanen inspirasi bagi banyak orang. Sebuah pelajaran berharga, bahwa kekayaan sejati, kemandirian, dan kedamaian batin bisa tumbuh dari pekarangan rumah kita sendiri, "Stek-stek," sedikit demi sedikit, hingga menjadi banyak. (And)