Mahasiswa Unand Telisik Sejarah Golkar, Tercegang Ada Jejak Ki Hajar Dewantara di Cikal Bakal Partai Beringin
PADANG - 6 MEI 2025 - Belasan mahasiswa Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas (Unand) hari ini menyusuri jejak panjang sejarah salah satu partai politik berpengaruh di Indonesia, Golongan Karya (Golkar). Kunjungan penelitian di kantor Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Sumatera Barat yang megah di Jalan Pramuka Raya Padang ini tak hanya membuka tabir perjalanan partai beringin, namun juga mengungkap keterkaitan yang tak terduga dengan tokoh sentral pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara.
Sebanyak 12 mahasiswa, didampingi pembimbing mereka Karen Sarakhova Hatauruk dan Rizki Ilham, disambut hangat oleh jajaran DPD Partai Golkar. Permohonan penelitian yang awalnya ditujukan kepada Ketua DPD, Bapak Khairunas yang juga Bupati Solok Selatan, diamanahkan kepada Drs. M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, M.Pd., Ketua IV Bidang Pendidikan, Kebudayaan, Kesehatan, dan Lingkungan Hidup, yang didampingi Kepala Sekretariat Partai Golkar, Drs. Sukarna. Mereka duduk bersama di ruang sekretariat yang menjadi saksi uraian gamblang seputar sejarah Golkar.
Pertanyaan penelitian mahasiswa yang berkisar tentang sejarah Golkar dan Partai Golongan Karya dijawab tuntas oleh Doktor M. Sayuti. Beliau membuka uraiannya dengan membeberkan akar gagasan Golkar yang ternyata sudah tertanam sejak tahun 1940. "Partai Golkar muncul dari kolaborasi gagasan dari tiga tokoh besar, Soekarno, Soepomo, dan Ki Hajar Dewantara," papar Sayuti, menjelaskan awal mula munculnya Kelompok Fungsional. Gagasan ini kemudian bertransformasi menjadi Golongan Karya pada tahun 1959.
Mendengar nama Ki Hajar Dewantara, para mahasiswa tampak tercegang. Rupanya, bapak Pendidikan Nasional yang hari kelahirannya tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hardiknas, ikut terlibat dalam cikal bakal organisasi yang kini menjadi partai politik besar. Mereka pun semakin tertarik mendalami bagaimana tokoh pendidikan bisa bersentuhan dengan arena politik praktis.
Drs. Sayuti melanjutkan narasinya. Pada masa itu, Golkar didukung kuat oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang melihat kelompok fungsional ini sebagai penyeimbang kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kian membesar. Tahun 1960, Soekarno memberi tempat bagi kelompok sektoral seperti guru, tentara, polisi, pekerja, dan seniman di DPR GR.
Keterlibatan beberapa anggota kelompok fungsional yang terkait dengan partai politik, dijelaskan Sayuti, memberikan pengaruh politik kepada Angkatan Bersenjata Nasional. TNI kemudian membentuk serikat pekerja anti-PKI, SOKSI, yang menjadi inti perlawanan terhadap PKI sekaligus inti dari Sekretariat Gabungan Golongan Karya (Sekber Golkar). Sekber Golkar pimpinan ABRI ini secara resmi berdiri pada 20 Oktober 1964.
"Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik makin meningkat," tegas Sayuti. Sekber Golkar menjadi wadah golongan fungsional murni, bebas dari pengaruh politik tertentu, dengan misi utama menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Anggotanya tumbuh pesat, dari 61 menjadi 291 organisasi. Kepemimpinan awal dipegang Brigadir Jenderal Djuhartono, lalu Mayor Jenderal Suprapto Sukowati.
Organisasi-organisasi ini kemudian dikelompokkan ke dalam 7 Kelompok Induk Organisasi (KINO), termasuk KOSGORO, SOKSI, MKGR, hingga Organisasi Profesi. Untuk menghadapi Pemilu 1971, tujuh KINO yang menjadi kekuatan inti Sekber Golkar bersepakat pada 4 Februari 1970 untuk berpartisipasi dengan satu nama dan tanda gambar: Golongan Karya (Golkar).
Partai politik lain sempat memandang remeh keikutsertaan Golkar dalam kontestasi perdana tersebut, meragukan kemampuan komunikasi politik Golkar di akar rumput. Namun, hasilnya di luar dugaan. "Golkar sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau 62,79% dari total perolehan suara," cerita Sayuti. Kemenangan ini merata di seluruh provinsi, berbeda dengan parpol tradisional yang kuat hanya di basis-basis tertentu.
Seiring ketentuan MPRS, pada 17 Juli 1971 Sekber GOLKAR pun resmi mengubah dirinya menjadi Golkar/Golongan Karya. Musyawarah Nasional (Munas) I Golkar di Surabaya September 1973 memilih Mayor Jenderal Amir Murtono sebagai Ketua Umum. Konsolidasi internal terus berjalan dengan pembentukan wadah profesi seperti HKTI, HNSI, dan FBSI.
Drs. Sayuti menekankan peran Golkar pasca-Peristiwa G30S. Dengan dukungan penuh Jenderal Soeharto, Sekber Golkar menjadi tulang punggung rezim militer Orde Baru bersama TNI-AD. "Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar," ujarnya. Kader Golkar mendominasi hampir semua jabatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, dibina melalui "jalur A, B, G" di bawah kendali Dewan Pembina.
Setelah reformasi 1998, keberadaan Golkar sempat ditentang, namun partai ini menunjukkan ketangguhannya di era demokrasi. Golkar ikut serta dan menjadi pemenang atau partai pemenang dalam pemilu 1999, 2004, 2009, 2014, dan 2019. Bahkan dalam Pemilu 2024, Golkar tetap disenangi rakyat, keluar sebagai partai pemenang yang beringin jumlah perolehan suara dengan PDI-P dan Gerindra.
Para mahasiswa kembali pada rasa ingin tahu mereka tentang Ki Hajar Dewantara. "Apa kaitannya Partai Golkar dan Pendidikan Nasional?" tanya mereka.
Dengan senyum, Drs. Sayuti menjelaskan, "Kaitannya dengan Partai Golkar adalah bahwa Partai Golkar sangat konsen memajukan Pendidikan di Indonesia sejak berdirinya sampai sekarang." Beliau menyoroti bahwa kemajuan sebuah negara berbanding lurus dengan kemajuan hasil pendidikannya, karena pendidikan melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan unggul. Hal ini, menurutnya, selaras dengan cita-cita Ki Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara, sang Bapak Pendidikan, bercita-cita menjadikan manusia berkarakter dengan semboyan "Tut Wuri Handayani" serta trilogi "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani". Pendirian Tamansiswa bertujuan menciptakan pendidikan yang merdeka, berpihak pada anak, serta berlandaskan nilai kebangsaan dan kemanusiaan, demi melahirkan pribadi yang merdeka batin, pikiran, dan tenaga.
"Cita-cita Ki Hajar Dewantara untuk SDM berkarakter sangat sejalan dengan fokus Golkar pada pendidikan sebagai penentu kemajuan bangsa," simpul Sayuti. Sambil tersenyum puas, para mahasiswa tampak mengangguk-angguk. Bagi mereka, sebagai orang terdidik, penjelasan ini membuat mereka merasa "wajar" berada di dalam atau mendukung Partai Golkar di masa yang akan datang. Kunjungan penelitian ini tak hanya memperkaya khazanah sejarah mereka, tetapi juga memberikan perspektif baru tentang hubungan antara partai politik dan visi pendidikan bangsa. (Syt)