PADANG - JUNI 2025 - Di tengah hiruk pikuk agenda legislatif dan tantangan pembangunan kota, Wakil Ketua DPRD Kota Padang, Mastilizal Aye, melontarkan sebuah adagium yang terdengar sederhana namun sarat makna. "Penyebab banjir bisa diketahui ketika sedang tidak hujan," ujarnya, sebuah kalimat yang menggema jauh melampaui batasan ruang rapat dan debat kebijakan. Kalimat ini bukan sekadar observasi biasa, melainkan sebuah undangan untuk merenung, sebuah panggilan untuk melihat lebih dalam pada persoalan yang kerap menimpa bumi Andalas.
Bayangkan sejenak. Ketika matahari bersinar terik, membasuh Kota Padang dengan kehangatannya, dan riuhnya aktivitas kota kembali normal, di sanalah sesungguhnya bibit-bibit banjir sedang bersembunyi, menunggu waktu untuk meledak. Saluran drainase yang tersumbat timbunan sampah, tumpukan sedimen di dasar sungai yang tak kunjung dikeruk, atau bahkan tata ruang kota yang abai terhadap daerah resapan air – inilah "penyebab" yang sesungguhnya. Mereka adalah jejak-jejak kelalaian kolektif, warisan dari perencanaan yang kurang matang, atau sekadar ketidakpedulian yang menumpuk dari waktu ke waktu.
Mastilizal Aye seperti mengajak kita untuk membuka mata lebar-lebar di saat paling tidak terduga. Bukan di tengah gemuruh air bah yang menelan jalanan dan rumah-rumah, melainkan di hari-hari yang tenang, di mana kita memiliki waktu dan kesempatan untuk mengamati, menganalisis, dan merumuskan solusi. Inilah waktu emas untuk pemetaan masalah, untuk revitalisasi infrastruktur, untuk kampanye kesadaran lingkungan, dan untuk penegakan aturan tata ruang yang berpihak pada keberlanjutan. Ini adalah saat di mana kita bisa menjadi arsitek masa depan, bukan sekadar penonton tragedi yang berulang.
Kemudian, ia melanjutkan dengan kalimat yang terasa begitu dekat dengan pengalaman pahit banyak warga: "Ketika saat hujan, kita hanya merasakan akibat banjir." Ucapan ini seakan menampar realitas, menggambarkan betapa kita seringkali terjebak dalam lingkaran reaktif. Ketika tetesan hujan berubah menjadi curahan deras, dan genangan air mulai merangkak naik, yang kita rasakan adalah kepanikan, kerugian materi, bahkan trauma. Barang-barang berharga yang hanyut, akses jalan yang terputus, atau bahkan ancaman kesehatan yang membayangi – semua adalah manifestasi dari "akibat" yang memilukan.
Di titik inilah, energi dan sumber daya kita tercurah untuk upaya evakuasi, penanganan darurat, dan pemulihan pascabanjir. Sebuah perjuangan yang heroik, tentu saja, namun pada dasarnya adalah upaya mengobati luka yang seharusnya bisa dicegah. Kita sibuk menyelamatkan diri dari air bah, membersihkan lumpur yang mengotori, dan membangun kembali apa yang telah hancur. Dalam momen-momen genting tersebut, pikiran kita tak sempat lagi menjelajahi akar masalah; fokus kita sepenuhnya tertuju pada bertahan hidup dan meminimalkan kerugian yang sudah terjadi.
Pernyataan Mastilizal Aye, jika direnungkan lebih dalam, adalah sebuah seruan untuk paradigmapenggeseran. Dari sebuah mentalitas yang reaktif dan berorientasi pada "pemadam kebakaran", menjadi sebuah mentalitas yang proaktif, visioner, dan berorientasi pada pencegahan. Ini bukan hanya tugas pemerintah atau pemangku kebijakan, melainkan tanggung jawab bersama – mulai dari individu yang membuang sampah sembarangan, masyarakat yang acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitar, hingga para pengambil keputusan yang merumuskan kebijakan pembangunan.
Padang, sebuah kota yang keindahan alamnya tak terbantahkan, juga merupakan wilayah yang rentan terhadap tantangan hidrologi. Oleh karena itu, kebijaksanaan yang terkandung dalam ucapan Mastilizal Aye ini menjadi semakin relevan. Ini adalah pengingat bahwa ketenangan di kala cerah adalah kesempatan berharga untuk membaca "tanda-tanda" yang tersimpan di bawah permukaan, untuk merajut solusi yang komprehensif, dan untuk membangun sebuah kota yang lebih tangguh dan berketahanan.
Maka, mari kita ambil jeda. Di hari-hari tanpa hujan ini, mari kita berjalan menyusuri selokan, mengamati aliran sungai, dan meninjau kembali tata ruang kita. Karena sesungguhnya, di sanalah, dalam kesunyian yang tenang, kita akan menemukan kunci untuk menghadapi badai di masa depan. Sebuah kunci yang dipegang erat oleh pemahaman bahwa mencegah selalu lebih baik, dan bahwa kebijaksanaan sejati datang dari kemampuan membaca tanda, bahkan di kala langit membiru cerah. (And)