-->
  • Jelajahi

    Copyright © Portalanda
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Gelombang Kesadaran: Nelayan Muara Anai & Ulakan Tapakis Pelopor Pelestarian Laut

    Jumat, 04 Juli 2025, Juli 04, 2025 WIB Last Updated 2025-07-05T02:29:13Z

    Di jantung pesisir Sumatera Barat, terbentang kisah tentang sebuah perubahan. Bukan hanya sekadar perubahan aturan, melainkan sebuah metamorfosis kesadaran yang perlahan merajut harapan baru bagi laut. Kisah ini bermula dari Kelompok Usaha Bersama (KUB) Nelayan Muara Anai di Kota Padang dan Ulakan Tapakis di Kabupaten Padang Pariaman, dua komunitas yang kini menggenggam erat visi pelestarian biota dan ekosistem laut.

    Selama ini, gaung tentang kerusakan laut akibat alat tangkap yang merusak telah menjadi bisikan yang tak henti-hentinya. Pukat harimau mini, atau yang akrab disebut "kapal osoh," adalah salah satu aktor utama dalam cerita suram ini. Jaring-jaringnya yang tak pandang bulu menyapu bersih dasar laut, tak hanya ikan dewasa, melainkan juga benih-benih kehidupan yang semestinya menjadi harapan masa depan. Namun, kini, sebuah babak baru telah dibuka.


    Pemerintah hadir dengan kebijakan tegas, sebuah payung hukum yang melindungi sang lautan. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan, menjadi tonggak penting. Aturan ini jelas: pukat harimau dilarang. Larangan ini bukan tanpa alasan, ia adalah sebuah seruan untuk menyelamatkan paru-paru bumi yang terancam.


    Bagi Iral G, Ketua KUB Nelayan Muara Anai, kebijakan ini terasa seperti embusan angin segar yang membawa pencerahan. “Adanya kebijakan ini, kami para pemilik kapal atau nelayan pukat harimau mendapatkan edukasi lebih,” tuturnya dengan nada penuh harap. Mengakui bahwa sebelumnya mereka memang mengandalkan kapal osoh, Iral G menegaskan komitmen kuat dari komunitasnya. “Ke depannya, kami akan berusaha menghentikan kegiatan penangkapan ikan menggunakan kapal pukat harimau mini (kapal osoh) tersebut.” Sebuah janji yang tak hanya di bibir, melainkan tercetak dalam niat untuk beradaptasi demi keberlanjutan.


    Dari sisi lain, di Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Safaruddin menggemakan sentimen yang sama. Dengan bangga ia menyatakan, “Dalam aktivitas penangkapan ikan sudah tidak menggunakan lagi pukat harimau mini (kapal osoh) dan melarang setiap kegiatan penangkapan ikan menggunakan pukat harimau (kapal osoh).” Pernyataan ini bukan sekadar klaim, melainkan bukti nyata bahwa kesadaran telah tumbuh berakar kuat di antara mereka. Nelayan Ulakan Tapakis telah lebih dulu merasakan manfaat dari meninggalkan praktik-praktik merusak, menjadi contoh nyata bagi komunitas lain.


    Rasa terima kasih yang mendalam terucap dari bibir para nelayan di kedua wilayah ini. Kebijakan pemerintah ini, bagi mereka, adalah anugerah. Ia bukan hanya sekadar aturan yang membatasi, melainkan sebuah perisai yang akan melindungi ekosistem dan biota laut, mencegah kerusakan yang selama ini mengintai, dan memastikan bahwa anak cucu mereka masih bisa menikmati kekayaan bahari.


    Kisah dari Muara Anai dan Ulakan Tapakis adalah sebuah narasi tentang harapan. Sebuah bukti bahwa ketika pemerintah dan masyarakat bersinergi, ketika edukasi dan kesadaran bertemu, maka laut yang biru dan kehidupannya yang berlimpah dapat kembali bernapas lega. Ini adalah langkah kecil, namun signifikan, menuju masa depan yang lebih lestari, di mana manusia dan alam dapat hidup berdampingan, saling menjaga. (And) 

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini