SURABAYA - 17 SEPTEMBER 2025 - Di bawah langit Surabaya yang berbinar, sebuah narasi baru terukir. Bukan sekadar beton dan baja, melainkan sebuah sajak tentang ketahanan, yang dibacakan oleh Menteri PU Dody Hanggodo dalam simfoni intelektual The 9th International Conference Postgraduate School Universitas Airlangga. Dalam lantunan kata-katanya, pembangunan fisik menjelma menjadi sebuah puisi-puisi perisai bagi ibu pertiwi.
Di hadapan para cendekiawan, Menteri Dody menegaskan, "Infrastruktur menjadi lebih dari sekadar pembangunan, melainkan ketahanan." Ini bukan lagi tentang sekadar membangun, tetapi merajut benang-benang kekuatan di tengah badai global yang tak henti menghempas. Perang di Ukraina, ketegangan di Timur Tengah, dan riak rivalitas adidaya kini terasa hingga ke pesisir nusantara. Namun, di tengah semua itu, Indonesia menemukan bentengnya.
Lihatlah bendungan yang menjulang, bukan hanya menyimpan air, tetapi juga harapan akan ketahanan pangan. Air yang mengalir dari irigasi adalah darah kehidupan yang menghidupi sawah, menafkahi jutaan jiwa. Pembangkit listrik tenaga air dan surya apung adalah denyut nadi energi, yang menerangi setiap sudut desa dan kota. Jalan dan jembatan yang terbentang adalah urat nadi yang menghubungkan hati ke hati, menyingkirkan sekat-sekat geografis. Semua ini, kata Menteri Dody, adalah "pertahanan sipil" yang senyap namun kokoh.
Program PU608 bukan hanya angka, melainkan mantra yang diucapkan untuk masa depan. Sebuah janji untuk efisiensi, pengentasan kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi yang menari di angka delapan persen. Sebuah komitmen untuk membina generasi melalui Sekolah Rakyat, pendidikan tinggi, dan menyentuh jiwa melalui sanitasi serta kesehatan. Ini adalah seni membangun peradaban dari fondasi yang paling mendasar.
Namun, seorang seniman tak bisa melukis sendirian. Menteri Dody menyerukan sebuah kolaborasi agung-sebuah pentahelix-dimana pemerintah, akademisi, swasta, masyarakat, dan media bersatu dalam sebuah tarian. "Bersama-sama," katanya, "kita dapat mengubah krisis menjadi peluang dan tantangan menjadi inovasi." Sebuah ajakan untuk berkolaborasi, bukan dalam persaingan, tetapi dalam harmoni.
Malam itu, di Surabaya, Prof. Dr. Muhammad Madyan dari Universitas Airlangga menggemakan kembali semangat itu. "Resiliensi harus proaktif dan visioner," ujarnya, "tidak hanya untuk bertahan, tetapi juga beradaptasi, berinovasi, dan bangkit lebih kuat."
Maka, biarkanlah dunia melihat. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, melalui program Asta Cita, Indonesia tidak hanya bertahan dari badai. Indonesia akan berdiri lebih kokoh, lebih adil, dan lebih makmur. Karena di setiap jengkal infrastruktur yang dibangun, tersimpan sebuah puisi-puisi tentang ketahanan, harapan, dan masa depan yang tak tergoyahkan. (And)
