PADANG - Langit Padang pada Senin 15 September 2025 itu memikul mendung yang terasa berat. Bukan karena hujan, melainkan oleh ruang di markas kepolisian. Di sebuah sofa, duduk seorang Jenderal. Matanya tak menatap, namun menembus relung jiwa di hadapannya. Namanya Gatot Tri Suryanta, seorang pemimpin yang kini tak mengenakan tameng, melainkan kemanusiaan di dada.
Di hadapannya, tertunduk lesu para pemuda. Wajah yang seharusnya penuh mimpi, kini diliputi sesal yang menghitam. Mereka adalah para pelaku tawuran, sebuah ritual ganas yang menelan nyawa pada Sabtu (13/9) kelabu lalu. Di meja, tergeletak benda-benda tajam yang kini bisu-arit yang seharusnya memotong ilalang, kini menjadi saksi darah yang tumpah. Benda-benda itu adalah cerminan dari hati yang tersesat, dari amarah yang tak terkendali.
Jenderal Gatot tak butuh kata-kata mutiara. Ia hanya butuh kejujuran. "Punya siapa ini?" suaranya menggema, memecah keheningan yang menyesakkan. Pertanyaan itu bukan untuk dijawab, melainkan untuk direnungkan. Ia seolah bertanya, "Kepada siapa masa depanmu telah kau serahkan?"
Dengan sorot mata yang teduh namun penuh ketegasan, Jenderal Gatot mendekati mereka. "Kenapa harus dibacok?" tanyanya lirih. Pertanyaan yang mengiris, membawa kembali memori akan jeritan yang putus, akan sebuah takdir yang terkoyak. Ia tidak menghakimi, ia hanya menawarkan cermin. Cermin di mana mereka bisa melihat diri mereka yang lain—diri yang bisa memilih jalur lain selain kehancuran.
"Masa depanmu, coba lihat," bisiknya, seolah menunjuk pada bayangan yang belum terwujud. Ia meminta mereka melihat jauh ke depan, melampaui kabut kebencian dan kebodohan. Ia tidak hanya memberikan hukuman, namun juga sebuah jalan. Jalan untuk kembali pulang, ke pangkuan keluarga dan mimpi yang sempat mereka lupakan.
Di balik seragamnya, Jenderal Gatot adalah seorang ayah. Ia meminta para direktur dan Kapolres untuk menemui walikota dan Dinas Pendidikan. Ini bukan hanya tentang menangkap pelaku, melainkan tentang memutus rantai kekerasan. Ia ingin membangun jembatan, bukan tembok. Jembatan yang menghubungkan sekolah dengan masyarakat, agar tak ada lagi nyawa yang terenggut oleh amarah yang tak berakal.
Pada akhirnya, pertemuan itu bukanlah akhir. Ia adalah sebuah permulaan. Permulaan bagi para pemuda itu untuk menyadari bahwa pedang dan arit bukanlah alat kebanggaan, melainkan simbol kegagalan. Permulaan bagi sebuah kota untuk menyembuhkan lukanya, dan bagi seorang Jenderal untuk mewujudkan mimpinya, agar Sumatera Barat bisa tidur nyenyak, tanpa lagi dihantui oleh suara bising dari tawuran yang memekakkan. (And)