Satu persatu, tabir mulai tersingkap. Bukan karena kehendak kita, namun karena Waktu telah memanggil. Di sekeliling kita, kursi-kursi yang tadinya hangat terisi, kini mulai ditinggalkan. Mereka yang kemarin masih berbagi tawa dan peluh, hari ini berpamitan, melambaikan tangan dari kejauhan batas fana. Sunyi yang tersisa menggemakan sebuah kebenaran yang getir: Ternyata hidup ini hanyalah sebentar saja. Sebuah babak singkat di panggung semesta, dengan tirai yang bisa turun kapan saja tanpa pemberitahuan.
Kita terbuai dalam ilusi keabadian, menyusun rencana hingga jauh ke masa depan, seolah-olah hari takkan pernah habis. Namun, alam semesta memiliki naskah yang tak bisa diubah. Sehebat-hebatnya manusia, setinggi apa pun mahligai yang dibangun, sekokoh apa pun benteng kesombongan yang didirikan, ia pasti akan dikalahkan oleh sang juru takar: Waktu.
Waktu adalah badai yang pasti akan mematahkan ranting-ranting kekuatan. Ia mengubah otot baja menjadi serat yang rapuh, mengubah langkah tegap menjadi gontai. Kita akan dipaksa menyaksikan tubuh sendiri menua, lemah, dan akhirnya sakit-sakitan. Inilah klimaks dari drama kehidupan: momen ketika jiwa yang perkasa harus menyerah pada panggilan ajal. Sebuah final call yang menghentikan semua ambisi dan gemerlap dunia.
Maka, dalam kesadaran yang menusuk ini, terbitlah sebuah teguran: Janganlah terlalu sombong dengan piala yang sedang engkau genggam, dengan mahkota yang sedang engkau kenakan. Jangan biarkan hati membengkak oleh kekayaan yang menumpuk, oleh pujian yang memabukkan, atau oleh kesehatan yang terasa abadi.
Sebab, semua yang saat ini kita sebut "milik" adalah hakikatnya sekadar titipan. Ia bagaikan air yang ditampung dalam genggaman, sebentar lagi pasti menetes habis. Harta, jabatan, paras menawan, bahkan detak jantung yang berirama semuanya adalah amanah sementara, pinjaman dari Sang Pemilik Abadi.
Dan setiap titipan, cepat atau lambat, pasti akan diambil kembali oleh pemilik-Nya.
Renungan ini bukan untuk menakuti, melainkan untuk membebaskan. Ketika kita memahami hakikat titipan, kita belajar untuk melepaskan genggaman erat, mengubah rasa memiliki menjadi rasa bersyukur dan tanggung jawab. Kita didorong untuk menggunakan waktu singkat ini untuk menanam kebaikan, sebelum senandung perpisahan itu akhirnya terdengar untuk kita sendiri.
Inilah puitika keikhlasan, mengakui bahwa kita hanya pengembara singgah. Dan bekal terbaik seorang pengembara bukanlah beban yang dibawa, melainkan jejak indah yang ditinggalkan.
Padang, 27 September 2025
By: Andarizal