-->
  • Jelajahi

    Copyright © Portalanda
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Menerangi "Lumbung Gelap" Desa: Menggugat Akuntabilitas Dana Pembangunan

    Senin, 27 Oktober 2025, Oktober 27, 2025 WIB Last Updated 2025-10-27T07:20:51Z

    Di jantung setiap desa, tersemat harapan akan masa depan yang lebih cerah. Harapan itu kini menjelma dalam triliunan rupiah yang mengalir dari pusat, sebuah injeksi vital yang dikenal sebagai Dana Desa. Ia sejatinya adalah oksigen bagi pembangunan infrastruktur, penggerak ekonomi lokal, dan penopang kesejahteraan warga. Namun, sering kali, lumbung harapan ini diselimuti bayang-bayang penyalahgunaan, menjadikannya bukan lagi sumber kemakmuran, melainkan "lumbung gelap" yang menggerus kepercayaan dan menghambat kemajuan.

    Narasi klasik penyalahgunaan selalu berulang. Dana yang seharusnya menjadi milik publik disulap menjadi kas pribadi, ditandai dengan kurangnya informasi yang mencekik partisipasi. Papan informasi nihil, laporan keuangan disimpan rapat, seolah akuntabilitas adalah barang mewah yang tak boleh diakses warga. Inilah permulaan dari kegelapan, ketika warga tidak tahu menahu, pintu bagi praktik korup terbuka lebar.


    Ciri-ciri lain adalah perwujudan dari pengkhianatan terhadap amanah. Kita menyaksikan dana desa lenyap dalam proyek-proyek fiktif, dibungkus dengan anggaran yang tidak realistis atau digunakan untuk kegiatan yang tidak ada. Lebih memilukan lagi, ketika dana diarahkan untuk proyek non-prioritas, memuaskan hasrat segelintir elite alih-alih mengatasi kebutuhan mendesak, seperti air bersih atau jalan tani yang rusak. Pembelian barang dan jasa pun sering terhindar dari mekanisme tender yang transparan, menghasilkan harga yang tidak wajar, menciptakan margin gelap yang dinikmati oleh oknum dan kroni.


    Dampaknya adalah pukulan telak bagi mimpi kemajuan desa. Keterlambatan pembangunan bukan hanya soal tunda waktu, tetapi juga soal tertundanya akses warga pada layanan dasar. Ketika dana mandek atau diselewengkan, kesenjangan sosial makin menganga, segelintir orang kaya dari hasil korupsi, sementara mayoritas tetap bergelut dengan kemiskinan. Ironisnya, dana yang seharusnya membangun peradaban, justru merusak pondasi sosial dan, dalam beberapa kasus, merusak lingkungan karena proyek yang tak bertanggung jawab.


    Maka, sudah saatnya kita mengakhiri narasi pasif ini. Solusinya tidak bisa berhenti pada penegakan hukum semata, tetapi harus dimulai dari tiga pilar utama yang menjadi benteng pertahanan paling ampuh.


    Pertama, Transparansi adalah Cahaya. Dana desa harus dikelola di bawah lampu sorot yang terang. Semua rincian anggaran, realisasi, dan pertanggungjawaban harus terpampang jelas, mudah diakses, dan dimengerti oleh setiap warga. Transparansi bukan hanya kewajiban, melainkan hak fundamental warga desa.


    Kedua, Pengawasan adalah Gerbang Penjagaan. Pengawasan internal oleh BPD harus diperkuat, dan pengawasan eksternal oleh pemerintah daerah dan aparat penegak hukum harus diintensifkan, didukung dengan sanksi yang tegas dan tanpa pandang bulu. Ketika tidak ada sanksi, penyalahgunaan menjadi budaya.


    Ketiga, Partisipasi Masyarakat adalah Jantung Akuntabilitas. Warga desa tidak boleh hanya menjadi objek pembangunan, tetapi harus menjadi subjek pengawasan. Berdayakan mereka untuk terlibat dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Suara warga adalah alarm paling jujur terhadap penyimpangan.


    Dana desa adalah janji negara kepada rakyatnya di garda terdepan. Untuk mewujudkan janji itu, kita harus memastikan setiap rupiah dikelola dengan integritas dan akuntabilitas. Sudah saatnya "lumbung gelap" itu diterangi, agar dana desa benar-benar menjadi katalisator bagi kemakmuran, bukan sekadar sumber baru bagi praktik-praktik korup. Ini adalah tugas kolektif: mewujudkan desa yang makmur, satu langkah transparan dan akuntabel pada satu waktu.


    Padang, 27 Oktober 2025

    Oleh : Suherman

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini