-->
  • Jelajahi

    Copyright © Portalanda
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Mengenang Mimpi Hasan Basri Durin: Kisah Lahirnya Gedung Abdullah Kamil, Jantung Adat Minangkabau

    Rabu, 05 November 2025, November 05, 2025 WIB Last Updated 2025-11-06T02:55:59Z

    Pada tahun 1988, di balik kemegahan kantor Gubernur Sumatera Barat, sebuah perbincangan santai antara petinggi daerah dan pemangku adat melahirkan sebuah mimpi besar.


    Gubernur saat itu, Hasan Basri Durin Dt. Rangkayo Mulie Nan Kuniang (HBD), dikenal sebagai sosok yang tak hanya piawai dalam pemerintahan, tetapi juga sangat peduli terhadap kelestarian Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Ia bertekad, Minangkabau harus memiliki sebuah monumen fisik, sebuah pusat kebudayaan dan adat yang megah.


      "Saya akan bicara dengan militer ada lapangan tenis sebelah pangkalan militer, Jln. Diponegoro sebelah Taman Melati... Jika pimpinan militer setuju kita buat perencanaannya."  Hasan Basri Durin, 1988.


    Di hadapan para pengurus LKAAM, termasuk Ahmad Hosen Dt. Pintu Basa dan wartawan senior Kamardi Rais Dt. Panjang Simulie, HBD melontarkan gagasannya. Lokasi yang dibidik adalah lahan strategis di Jalan Diponegoro, yang kini bersebelahan dengan Museum Adityawarman. Sebuah keputusan berani yang menggabungkan dukungan militer, kekuatan politik (Fraksi Golkar DPRD Sumbar), dan semangat adat.


    Untuk merealisasikannya, HBD memanfaatkan jaringannya yang luas. Ia meminta Dt. Pintu Basa dan Dt. Simulie, yang menjabat anggota DPRD dari Fraksi Golkar, untuk mengawal penganggaran di APBD, yang disanggupi dengan alokasi awal sekitar Rp750 juta.


    Namun, yang paling krusial adalah masuknya figur Abdullah Kamil. Sebagai besan Presiden Soeharto, peran Abdullah Kamil menjadi jembatan vital. Kehadirannya tidak hanya memuluskan izin, tetapi juga menjamin kucuran dana hibah dari pemerintah pusat yang jauh lebih besar. Dedikasi ini kemudian diabadikan sebagai nama gedung itu sendiri. Gedung Abdullah Kamil.


    Meskipun fondasi utamanya adalah dana pusat, arsitektur dan perencanaan pembangunan tak lepas dari peran intelektual lokal. HBD memanggil dosen-dosen terbaik dari Fakultas Teknik Universitas Bung Hatta, termasuk M. Nazir, Ir. Ahmad Dahlan, dan Ir. Afrizal Naumar. Bahkan, ketika dana pusat belum cair, HBD tak ragu menggunakan dana Rp250 juta dari Yayasan Pendidikan Wawasan Nusantara (YPWN) yang ia dirikan sendiri, sebagai dana talangan awal. Sebuah bukti nyata bahwa tekadnya tak bisa ditunda.


    Gedung ini tidak dibangun untuk kepentingan satu orang atau satu kelompok. HBD memastikan semangat kebersamaan ini terinstitusionalisasi. Pada 17 September 1988, sebulan setelah peletakan batu pertama, Surat Pernyataan Bersama ditandatangani.

    Surat ini menjadi pegangan bersama, menegaskan bahwa gedung tersebut harus dimanfaatkan secara berkelanjutan hanya untuk kepentingan kebudayaan, adat istiadat, dan nilai-nilai Adat Basandi Syara’. Ini adalah wasiat moral agar fungsi gedung tidak pernah bergeser dari akar Minangkabau.


    Pada 7 Mei 1990 (diresmikan pada tahun 1992 oleh Ibu Tien Soeharto), Gedung Abdullah Kamil berdiri tegak. Tak lama berselang, sekitar Agustus 1991, LKAAM resmi memindahkan kantornya.


    Gedung ini segera menjadi pusat peradaban:


     * Tempat pelatihan adat bagi generasi muda.


     * Panggung seminar Bundo Kanduang membahas sistem kekerabatan matrilineal.


     * Forum diskusi hukum adat dan peran Urang Ampek Jinih (Pangulu, Manti, Malin, Dubalang) dan Jinih Nan Ampek (Imam, Khatib, Bilal, Kadhi).


     * Lahirnya gagasan Barisan Dubalang Parik Paga Nagari (Badupari) sebagai penjaga marwah adat.


    Kini, meskipun sempat mengalami kerusakan pasca Gempa 2009 dan membutuhkan revitalisasi, kisah Gedung Abdullah Kamil adalah kisah tentang visi seorang pemimpin yang menggabungkan birokrasi, politik, dan kekayaan adat. Ia adalah simbol nyata bahwa tanpa ninik mamak, tanpa bundo kanduang, dan tanpa sinergi dengan pemerintah, marwah Minangkabau akan sulit dipertahankan.


    Mimpi HBD tentang sebuah rumah bagi adat telah terwujud. Tugas kita hari ini adalah memastikan jantung budaya di Jln. Diponegoro itu terus berdetak.


    Padang, 6 November 2025

    Dikisahkan oleh Dr. Drs. M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, M.Pd.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini