-->
  • Jelajahi

    Copyright © Portalanda
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Tanah Pusaka di Nagari Supayang: Dilema Adat, Administrasi, dan Kejelasan Status

    Minggu, 02 November 2025, November 02, 2025 WIB Last Updated 2025-11-03T04:41:29Z

    Sejak lebih dari sebulan terakhir, Nagari Supayang di Kabupaten Solok dihadapkan pada sebuah dilema pelik yang mencuat ke permukaan publik, polemik penandatanganan dokumen lahan milik Kaum Suku Tanjung. Persoalan yang seharusnya selesai di tingkat musyawarah adat kini terhenti di meja Wali Nagari, Darmansyah, memicu keresahan dan spekulasi liar di tengah masyarakat.


    Teks berita yang beredar dibeberapa media mengindikasikan adanya dugaan upaya mempersulit administrasi. Pihak Kaum Suku Tanjung menegaskan bahwa lahan tersebut, yang berbatasan dengan Kaum Suku Melayu (yang telah setuju), telah melalui proses musyawarah adat yang sah dan bahkan dokumennya diklaim telah ditandatangani oleh niniak mamak 21, sebuah legitimasi adat yang sangat kuat. Penundaan penandatanganan oleh Wali Nagari dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap keputusan Dewan Adat Minangkabau yang semestinya menjadi posisi tertinggi dalam urusan sengketa adat.


    Di sisi lain, Wali Nagari Darmansyah memiliki alasan yang juga perlu dipertimbangkan dengan cermat. Dalam tanggapannya pada 27 Oktober 2025, beliau membantah tuduhan mempersulit. Alasan utamanya adalah, "objek tanah yang diklaim dalam status belum jelas."


    Pernyataan ini mengubah perspektif dari sekadar ‘persulit’ menjadi ‘kehati-hatian administratif’. Seorang Wali Nagari, meskipun wajib menghormati putusan adat, juga memegang tanggung jawab hukum dan tata kelola pemerintahan. Penandatanganan dokumen lahan oleh pejabat publik merupakan legitimasi formal yang berpotensi memiliki konsekuensi hukum jangka panjang. Jika status legal atau batas-batas fisik lahan memang masih samar atau memiliki potensi sengketa di masa depan, penundaan adalah tindakan preventif yang sah, meskipun menimbulkan gesekan di tingkat adat.


    Polemik ini bukan sekadar urusan selembar kertas, melainkan cerminan dari kompleksitas tata kelola di Minangkabau, di mana sistem adat (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) harus berintegrasi dengan sistem administrasi negara modern.


    Ketika masyarakat (Kaum Suku Tanjung) merasa telah memenuhi semua syarat adat mulai dari musyawarah, persetujuan pihak berbatasan, hingga tanda tangan niniak mamak 21, namun terganjal di level pemerintahan nagari, yang muncul adalah krisis kepercayaan. Warga tidak hanya menduga adanya kejanggalan, tetapi juga secara eksplisit meminta aparat penegak hukum (APH) untuk turun tangan menyelidiki, sebuah langkah eskalasi yang menunjukkan kekecewaan mendalam terhadap proses internal di Nagari.


    Untuk meredakan ketegangan yang sudah lebih dari sebulan menggelayuti Supayang, dibutuhkan solusi yang tidak hanya cepat, tetapi juga berkeadilan dan transparan.


     * Mediasi Transparan: Harus segera digelar pertemuan lanjutan yang melibatkan ketiga pilar. Wali Nagari, Kaum Suku Tanjung, dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) secara utuh. Fokus pertemuan ini harus diarahkan pada pembuktian status kejelasan objek tanah yang disorot oleh Wali Nagari.


     * Verifikasi Independen: Jika kejelasan status menjadi isu, KAN dapat bekerjasama dengan pihak profesional (misalnya juru ukur atau pihak pertanahan daerah) untuk melakukan verifikasi ulang yang disaksikan oleh semua pihak, sehingga menghilangkan keraguan administrasi.


     * Prioritas Kepentingan Umum: Wali Nagari harus menyadari bahwa penundaan berlarut-larut merusak iklim sosial. Jika keraguan administrasi dapat dihilangkan, penandatanganan harus segera dilakukan demi memulihkan ketenangan masyarakat.


    Kepemimpinan Nagari Supayang tengah diuji. Tantangannya adalah menemukan titik temu antara otoritas adat yang menuntut penghormatan putusan, dan tanggung jawab administrasi yang menuntut kejelasan legal. Kegagalan mencapai rekonsiliasi yang cepat dan transparan hanya akan memperpanjang keruhnya air di Ranah Minang, membiarkan sepotong tanah pusaka menjadi simbol rapuhnya sinergi antara adat dan pemerintahan.


    Padang, 3 November 2025

    Penulis: Andarizal, Wartawan biasa

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini