Senin 21 April 2025: Bagian 5: Langkah Menuju Rantau
Selasa itu, tanggal 22 April 2025. Pagi yang berbeda. Bukan lagi pagi yang dimulai dengan ketidakbiasaan yang samar, melainkan pagi yang dihadapi dengan kepastian yang berat. Kepastian bahwa kursi di belakang mejaku akan tetap kosong bukan hanya pagi ini, melainkan untuk waktu yang entah sampai kapan.
Aku tiba di kantor, seperti rutinitasku, meski langkahku terasa sedikit lebih lunglai dari biasanya. Udara di dalam ruangan terasa dingin, membeku bersama sisa-sisa keterkejutan dan kesedihan dari hari sebelumnya. Lampu kuhidupkan, komputer menyala, tapi suasana tak kunjung hangat. Matahari pagi yang menembus jendela pun terasa tak mampu mengusir bayangan yang menggelayut.
Kursi 'kk'. Meja 'kk'. Mereka ada di sana, diam, rapi, seolah tak ada yang berubah. Namun keheningan yang melingkupi area itu begitu pekat. Ini bukan sekadar kursi kosong karena ia terlambat. Ini adalah ruang kosong yang menandakan ketidakhadiran yang permanen. Setiap sudut ruangan seolah menyimpan jejak tawanya, gumam keluh kesahnya, pertanyaan-pertanyaan polosnya. Kenangan-kenangan itu tiba-tiba menyeruak, membuat dada terasa sesak.
Hati ini masih membawa sisa gemuruh kekecewaan karena tidak diberi tahu dari awal, tapi di lapisan yang lebih dalam, ada rasa penerimaan yang perlahan tumbuh. Penerimaan bahwa ia punya jalan hidup sendiri, bahwa inilah takdir yang harus ia jalani. Dan di atas itu semua, ada untaian doa yang sejak semalam tak henti kupanjatkan dalam hati. Doa yang terucap dalam diam, saat jemariku membeku tak mampu membalas pesan terakhirnya.
Waktu merayap pelan. Jam di dinding terus berdetak, pada 'siang', waktu yang ia sebutkan untuk keberangkatannya. Aku berusaha fokus pada pekerjaan di depan mata, tapi pikiran terus melayang. Membayangkan si bungsu. Membayangkan bundanya yang mengantar. Membayangkan terminal bis SAN yang mungkin ramai. Membayangkan bis besar berwarna hijau yang akan membawanya pergi menempuh jarak ratusan kilometer menuju tempat yang sama sekali asing baginya.
Saat jam menunjukkan pukul sebelas, atau mungkin lewat sedikit, waktu yang kurang lebih sama dengan saat aku kembali ke kantor kemarin dan mendapati tirai tersibak, ada rasa berat yang tiba-tiba menghimpit dada. Mungkin di saat-saat seperti inilah, bis SAN yang membawanya sudah mulai bergerak. Mungkin rodanya sudah berputar, perlahan meninggalkan hiruk pikuk terminal, membawa serta sosok yang sudah kuanggap seperti anak sendiri, menuju babak baru kehidupannya di PT. PSU Sumsel.
Di suatu tempat yang jauh di sana, langkah menuju rantau itu benar-benar dimulai.
Kantor ini, yang biasanya menjadi saksi interaksi harian kami, kini terasa semakin sunyi. Kursi itu tetap kosong, bukan lagi menunggu untuk diisi kembali sore nanti, melainkan menjadi monumen kecil atas perpisahan yang baru saja terjadi. Tak ada lambaian tangan perpisahan secara langsung, tak ada ucapan selamat jalan yang terucap di bibir, hanya perpisahan yang dirasakan melalui getaran pesan di ponsel kemarin, dan kini, melalui kesunyian yang menusuk di ruangan kerja ini.
Selamat jalan, anakku. Doa apak menyertaimu. Rantau itu menanti. Semoga sukses, Putri kecilku. Semoga kamu selalu dalam lindungan-Nya. BersambungBersambung ke Bagian 6.