Senin 21 April 2025, Bagian 6: Perpisahan di Hari yang Berbeda
Namun, cerita tentang perpisahan dan hati yang teriris bukan hanya milik tanggal 21 April itu saja. Ada yang lebih menggoreskan luka, terjadinya, pada 23 April 2025. Hari itu, ponselku kembali membawa kabar keberangkatan belahan jiwaku: putri kecilku, si bungsu yang kumanja telah pergi merantau.
WhatsApp berkedip, menampilkan nama putriku. Ada rasa enggan yang mendadak menyergap. Enggan membuka, enggan membaca, seolah dengan menunda, aku bisa menunda kenyataan yang menanti di balik pesan itu. Tapi panggilan hati seorang apak terlalu kuat untuk diabaikan. Kubuka juga akhirnya.
"akak berangkek lu pak,"
Sebuah kalimat singkat, ditulis dengan gaya khasnya. 'Berangkek'. Berangkat. Pergi.
Tanpa terasa, mataku menghangat. Ada bulir-bulir air mata yang luruh begitu saja, tak mampu kubendung. Ini bukan air mata sedih semata, lebih kepada campuran haru, bangga, cemas, dan penyesalan yang tiba-tiba menusuk.
Sambil menyeka air mata yang terus merembes, aku berusaha membalas pesannya. Mengetik di layar ponsel yang terasa buram.
"Yoo, elok elok," kutulis, "jan lupo sholat, sudah tu jan lupo berdoa,"
Kata-kata itu, nasihat standar seorang apak, meluncur begitu saja. Nasihat yang selalu kuulang setiap kali ia melangkah keluar dari jangkauanku. Tapi di balik pesan itu, ada penyesalan yang menghantam begitu kuat. Penyesalan kenapa aku tidak ada di sana. Kenapa aku tidak mengantarnya? Kenapa aku tidak menjabat tangannya erat-erat, memberikan restu langsung sebelum ia naik ke kendaraan yang akan membawanya pergi?
Harusnya aku ke terminal bus menemui putriku. Kala itu, aku tahu ia diantar oleh bundanya (atau sosok yang menemaninya). Beliau bahkan sudah mengirimkan share location melalui ponsel, sebuah isyarat tak langsung yang berbunyi, "Kami sudah di terminal. Temuilah putrimu, temuilah anak bungsu. Ucapkan selamat jalan padanya." Namun, entah apa yang merasukiku saat itu, aku tidak pergi. Aku tidak menyambut isyarat itu.
Kini drama kecil itu sudah berlalu, perpisahan itu sudah terjadi tanpa kehadiranku di sisinya saat-saat terakhir sebelum keberangkatan. Dengan menahan rasa penyesalan yang bagai dahan kering menusuk dada, aku kembali menulis di layar HP, mencoba menebus sedikit kelalaianku.
"Kalau ada sesuatu hubungi apak," kuketik, memastikan ia tahu ada tempat berlindung jika badai datang di perantauan nanti.
Lalu, naluri seorang apak yang ingin memastikan anaknya tidak kekurangan menyuruhku menambahkan. "Beko sore tuk tambah lanjo apak tranfer (nanti sore tambahan belanja di tranfer). Kirimkan se " saja" nomor rekening," ujarku, menawarkan tambahan bekal, memastikan perjalanannya dan awal di tempat baru berjalan lancar dari sisi finansial.
Tak lama setelah pesan kukirim, balasan darinya muncul. Singkat, namun melegakan.
"Aminn makasih," jawabnya, diikuti pesan berikutnya yang mengkonfirmasi tawaran bantuanku, "kirim ka dana kak se pak." (kirimkan saja lewat dana pak).
Permintaan itu, meskipun sederhana, seolah mengikat kembali benang yang terasa sedikit terulur oleh penyesalanku. Setidaknya, aku masih bisa melakukan sesuatu untuknya, memberikan sedikit kenyamanan untuk langkah awalnya. Perpisahan ini, seperti meninggalkan luka. Tapi di setiap luka, ada harapan yang terselip. Harapan agar ia baik-baik saja, harapan agar doa dan restu yang kusampaikan, baik yang terucap di pesan maupun yang membisu dalam tangisku, akan menjadi payung pelindungnya bagi putri kecilku ini di tanah rantau.
Momen perpisahan ini, meskipun mendahului kisah utama di bulan April, menunjukkan kedalaman perasaan 'apak' dalam melepas orang-orang terdekat yang ia sayangi untuk menempuh jalannya.
Bersambung ke Bagian 7