TARIF TRUMP GONCANG DUNIA?
Oleh : Dr. Drs. M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, M.Pd. Ketua Pujian ABSSBK HAM/ Dosen Univ. Bung Hatta
Kebijakan tarif impor kontroversial yang diluncurkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, sejak 2 April 2025, telah mengguncang konstelasi ekonomi global. Langkah proteksionis yang digadang-gadang sebagai "liberation day" bagi perekonomian Paman Sam ini, berupa pengenaan tarif universal 10% dan tarif resiprokal 32% khusus untuk Indonesia, sontak menuai reaksi beragam, tak terkecuali di Tanah Air.
Pusat Kajian Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah Hukum Adat Minangkabau (PUJIAN ABSSBK HAM) turut mencermati dinamika ini, menyoroti potensi dampak signifikan terhadap perekonomian nasional. Kekhawatiran utama tertuju pada sektor padat karya, tulang punggung perekonomian Indonesia yang menyerap jutaan tenaga kerja. Industri tekstil, alas kaki, dan furnitur kini berada di ambang ketidakpastian, terancam lesunya permintaan dari pasar Amerika yang selama ini menjadi salah satu tujuan ekspor utama. Gelombang pemutusan hubungan kerja menjadi momok yang menghantui, mengingat betapa vitalnya sektor-sektor ini dalam menopang kehidupan banyak keluarga di Indonesia.
Gejolak pasar finansial pun tak terhindarkan. Rupiah sempat merasakan tekanan hebat, melampaui level psikologis krisis moneter 1998, sebelum akhirnya menunjukkan sedikit penguatan. Situasi ini menggambarkan betapa rentannya perekonomian Indonesia terhadap kebijakan ekonomi negara adidaya seperti Amerika Serikat.
Di tengah turbulensi global ini, kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah taktis yang patut diapresiasi. Alih-alih terpancing untuk melakukan pembalasan tarif yang justru dapat memperkeruh suasana, pemerintah memilih jalur diplomasi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia memprioritaskan negosiasi, mengingat status AS sebagai mitra strategis. Sikap ini menunjukkan kedewasaan dalam berpolitik ekonomi internasional, mengedepankan kepentingan nasional jangka panjang daripada reaktifitas sesaat.
Sebagai bentuk respons cepat, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan rencana strategis untuk memangkas tarif pajak penghasilan (PPh) impor dan bea masuk dari Amerika Serikat. Langkah ini diharapkan dapat menjaga daya saing produk Indonesia di pasar AS dan meminimalisir dampak negatif dari kebijakan tarif Trump. Pemangkasan tarif PPh 22 Impor menjadi 0,5% dan bea masuk menjadi 0%-5% merupakan sinyal kuat keseriusan pemerintah dalam melindungi kepentingan para pelaku usaha dan menjaga stabilitas ekonomi.
Menariknya, di tengah hiruk pikuk analisis para pakar ekonomi dan respons pemerintah, muncul suara akar rumput yang mencerminkan kearifan lokal. Dari "ciloteh lapau nagari" di Minangkabau, terungkap pandangan yang lebih pragmatis dan optimis. Masyarakat berpendapat bahwa ketergantungan ekspor Indonesia tidak hanya pada Amerika Serikat. Mereka mendorong pemerintah untuk aktif menjalin kerjasama dengan negara-negara lain di dunia, membuka peluang pasar baru, dan tidak terlalu terpaku pada satu destinasi ekspor saja.
Lebih jauh lagi, "ciloteh" ini menekankan pentingnya penguatan fondasi ekonomi dalam negeri. Peningkatan jumlah pabrik padat karya dan keberhasilan program hilirisasi diyakini akan menciptakan kemandirian ekonomi. Dengan produksi yang berkualitas dan harga yang terjangkau, Indonesia tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, tetapi juga berpotensi menarik minat pasar global. Optimisme ini semakin diperkuat dengan keyakinan terhadap program swasembada pangan Presiden Prabowo, yang diharapkan dapat menjaga ketahanan pangan nasional.
Menghadapi tantangan tarif Trump ini, semangat "sersan lubis" yang diartikan sebagai santai, serius, dan luar biasa, menjadi penyemangat bagi seluruh anak bangsa. Kerja keras dalam menggali potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi kunci untuk menghadapi gejolak ekonomi global dan mewujudkan kemandirian serta kesejahteraan Indonesia. Kebijakan tarif Trump, meskipun mengguncang dunia, menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat diri, mencari peluang baru, dan membuktikan ketangguhan ekonomi bangsa.