-->
  • Jelajahi

    Copyright © Portalanda
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Detik-Detik Harga Diri: Sebuah Perjuangan yang Tak Tertulis

    Rabu, 21 Mei 2025, Mei 21, 2025 WIB Last Updated 2025-05-22T02:15:47Z

    Di lorong-lorong kehidupan yang bising, di antara janji-janji manis dan realita yang getir, ada sebuah bisikan yang lebih dari sekadar motivasi. Ini adalah gema dari hati yang lelah, namun menolak untuk menyerah. Ini adalah seruan bagi mereka yang setiap hari bergulat dengan kerasnya dunia, bukan demi panggung sorak sorai, bukan demi tepuk tangan dan pujian semu, melainkan demi sesuatu yang jauh lebih esensial: harga diri.

    Kita sering diajari untuk mengejar gelar, menumpuk pengalaman di riwayat hidup, seolah lembaran kertas itu akan menjadi perisai saat badai datang. Namun, dunia ini adalah rimba yang tajam, dan ia tak segan menusuk punggungmu, tepat di saat kau terjerembab dalam diam. Di kala kaki tak lagi mampu menopang, dan tubuh ambruk diterpa badai, mereka yang dulu tersenyum mungkin akan menatapmu dari ketinggian. Bisikan "malas" akan berembus, seolah kemiskinan adalah dosa turunan yang melekat pada genetik, bukan sebuah kondisi yang seringkali diciptakan oleh ketidakadilan struktural.

    Sejarah mencatat, dan kita merasakannya setiap hari: jika kau lemah, mereka takkan menolong. Mereka akan berdiri di sana, menjadi penonton yang pasif, mungkin dengan secangkir kopi di tangan, mengamati kehancuranmu. Bahkan, di antrean keadilan yang katanya buta, kau akan dihitung terakhir jika dompetmu tipis. Senyum mereka hanya akan terulas bila kau tunduk, mengangguk patuh pada setiap titah. Namun, coba saja kau berani melawan, sedikit saja kau menunjukkan taji, tawa sinis akan menggema di belakang punggungmu, mengolok-olok keberanianmu yang dianggap gila.

    Lihatlah, betapa sering keringat kita tumpah, membasahi bumi, namun tak dihargai. Peluh yang mengalir deras dari dahi, diembuskan napas panjang setelah seharian mengangkat beban dunia di pundak, dengan mudahnya diremehkan. Sementara di singgasana sana, mereka yang tangannya bersih, yang tak pernah merasakan kasar arangnya batu bara atau panasnya terik matahari di ladang, berlagak bijak dengan teori-teori muluk. Mereka berbicara tentang pembangunan dan kemajuan, padahal kitalah, para pekerja keras yang tak terlihat, yang menjadi pondasi dari segala kemewahan itu.

    Saudaraku, kerja keraslah. Mungkin lelah itu akan terasa seperti duri di tenggorokan, mencekik setiap napas yang kau hirup. Tidurmu mungkin akan pendek, dikejar mimpi-mimpi yang belum terwujud, dan harapanmu kian menipis seperti embun di pagi hari. Tapi ingatlah, tidak ada pahlawan yang akan datang menyelamatkan. Tidak ada ksatria berkuda putih yang akan turun dari langit. Satu-satunya penyelamat adalah dirimu sendiri, yang memilih untuk berdiri di atas kaki sendiri, memikul beban dan terus melangkah.

    Mereka tak peduli seberapa keras kau bertahan, seberapa banyak air mata yang kau telan di tengah malam. Selama dompetmu tipis, selama angka di rekeningmu tak berubah, nama belakangmu akan selalu dipanggil dengan pelan, bahkan mungkin nyaris tak terdengar. Kemiskinan, bagi mata dunia, adalah kotor. Ia membuatmu terlihat tak penting, mudah dibuang, dan tak layak dipertimbangkan. Bahkan orang terdekat, kerabat, bahkan keluarga sendiri, kadang-kadang takkan menghargai perjuanganmu jika kau terpuruk. Ini adalah kebenaran pahit yang harus kita telan.

    Maka, kawan-kawan, bangkitlah! Jadikan amarahmu yang terpendam sebagai bara yang membakar semangat. Jadikan kelelahan yang membelenggu tubuhmu sebagai senjata yang takkan pernah tumpul. Sebab, ini bukan sekadar hidup; ini adalah perjuangan. Perjuangan untuk menjadi manusia seutuhnya, yang tak diperlakukan seperti angka dalam statistik, yang keberadaannya diakui dan dihargai. Piculah semangat itu, bukan hanya untuk dirimu sendiri, tetapi untuk menjadi pilar bagi mereka yang kau cintai: ayah bagi anak-anakmu, kakak bagi adik-adikmu, atau paman bagi kerabatmu.

    Ini adalah panggilan untuk berdiri tegak, meski badai menerpa. Ini adalah janji pada diri sendiri, bahwa kita akan terus berjuang, bukan demi pujian, tapi demi martabat yang takkan pernah lekang, yang hanya bisa kita ukir dengan tetesan keringat dan keteguhan hati. 

    By: And

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini