Menanti Denyut Nadi Olahraga Ranah Minang: Seruan Mastilizal Aye Akan Kepedulian yang Hilang
PADANG - 17 MEI 2025 - Dari balik jabatannya ganda sebagai nahkoda Askot PSSI Padang dan Wakil Ketua DPRD Kota Padang, Mastilizal Aye menyuarakan keresahan yang mendalam tentang denyut nadi olahraga di Sumatera Barat yang dirasakannya kian melemah. Bukan sekadar kritik kosong, pandangan Aye adalah refleksi dari seorang pelaku sekaligus pembuat kebijakan yang merindukan geliat prestasi di Ranah Minang.
Baginya, kemajuan olahraga di daerah ini tidak akan terwujud tanpa fondasi yang kuat: individu-individu yang benar-benar 'mengerti dan peduli'. Sosok-sosok yang tak hanya fasih beretorika, tetapi memahami seluk-beluk kebutuhan tiap cabang olahraga, hafal rekor dan potensi setiap atlet, serta mampu menjadi jembatan yang efektif antara insan olahraga dan pemangku kebijakan. Keberadaan mereka, menurut Aye, adalah kunci untuk memastikan bahwa setiap langkah dan keputusan yang diambil benar-benar pro-kemajuan olahraga.
Namun, nada bicara Aye mengisyaratkan kekecewaan mendalam ketika menyoroti perjalanan olahraga Sumbar dalam lima belas tahun terakhir. Ia merasa, di rentang waktu tersebut, keberpihakan pemerintah terhadap sektor olahraga terasa memudar. Penyebabnya, di mata Aye, adalah praktik pencampuradukan yang tak semestinya antara urusan olahraga dengan agama dan politik. "Harusnya olahraga berdiri sendiri," tegasnya, menyiratkan keinginan agar ruang gerak olahraga bebas dari tarik-menarik kepentingan di luar ranahnya. Kemurnian semangat sportivitas, baginya, tercederai ketika olahraga ditarik ke ranah yang berbeda tujuan.
Puncak dari kekecewaan Aye tertuju pada tim penyusun anggaran di tingkat pemerintah, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Ia sangat menyayangkan komposisi tim krusial tersebut yang luput dari sentuhan orang-orang berlatar belakang olahraga. Bayangkan, kata Aye, sebuah tim yang merancang alokasi dana pembangunan daerah tanpa melibatkan suara dari fakultas ilmu keolahragaan di UNP, atau bahkan mantan atlet yang pernah merasakan langsung pahit manisnya perjuangan di lapangan. Konsekuensinya terasa begitu nyata: ketika penyusunan anggaran dan perencanaan pembangunan dilakukan, pikiran dan prioritas untuk menganggarkan secara memadai bagi kemajuan olahraga seakan terlupakan.
Penyesalan itu terucap getir dari Aye. Ia melihat, ketiadaan representasi olahraga di meja perundingan anggaran berdampak langsung pada keringnya dukungan finansial dan programatik yang dibutuhkan untuk pembinaan atlet, pengembangan sarana prasarana, maupun penyelenggaraan kompetisi yang berkualitas.
Dalam pandangan Mastilizal Aye, kondisi ini harus segera dibenahi. Memajukan olahraga Sumatera Barat bukan hanya soal membangun fisik atlet atau infrastruktur, tetapi yang terpenting adalah membangun ekosistem yang dipimpin dan dikelola oleh mereka yang punya hati dan pikiran untuk olahraga itu sendiri, memastikan olahraga mendapatkan tempat dan dukungan yang layak demi kejayaan Ranah Minang di kancah nasional. (And)