UMPAN SILANG: Drama Senyap di Balik Gemerlap Lapangan Hijau
Malam itu, udara di luar mungkin dingin oleh embun atau hangat oleh janji kemenangan, tetapi di sebuah ruangan yang jauh dari sorotan lampu stadion, sebuah 'dialog segitiga' sedang berlangsung. Bukan taktik di atas kertas hijau, melainkan kesepakatan gelap yang dibalut bisik-bisik penuh perhitungan. Tiga sosok duduk berdekatan: Rito, pemilik ambisi menggebu untuk menang di kandang; Ersib, kapten tim tamu yang jelas-jelas diunggulkan sebagai juara; dan Asit, sosok yang entah bagaimana memiliki pengaruh di lingkaran ini, barangkali seorang perantara, seorang pengatur tempo, atau sekadar mata rantai krusial dalam transaksi ini.
"Ersib," Rito memulai, suaranya rendah namun sarat tekanan. "Bisakah kali ini saja den manang di kandang e? Waang kan lah jaleh juara mah." Ada nada memohon yang tersamar di balik kalimat itu, namun segera disusul dengan tawaran. "Ches bara Ang minta den agih? Tapi jaan banyak-banyaklah... Untuk libur kompetisi cukuklah." Uang bicara, dan di antara mereka, mata saling bertemu, mengukur nilai sebuah kekalahan yang disengaja.
Ersib, dengan ketenangan seorang yang terbiasa bernegosiasi di luar lapangan, tampaknya sudah menduga tawaran ini. Jumlah disepakati, jabat tangan diayunkan – sebuah 'serah terima' yang jauh dari sorotan kamera. Ada senyum tipis di wajah mereka, tos singkat yang merekatkan janji haram itu.
Kemudian giliran Asit. "Ma bisa aden ndak ang agih?" tanyanya, retoris. Tentu saja ia harus dilibatkan. "Oh tentu iyo," jawab Asit, matanya berbinar. Kepada Asit, Rito kembali menegaskan instruksi. "Ang tur se lah Sit, pokok e den manang. Pokok Ersib jaan sato-sato pulo Ma Gol kan Bola. Aman tu. Beko den agih. Agih tau kawan-kawan den." Jelaslah peran Asit adalah memastikan 'skenario' berjalan mulus di lapangan, mengkondisikan jalannya pertandingan agar kemenangan Rito terlihat... wajar, atau setidaknya tidak mencurigakan. Kesepakatan itu "oke," kata mereka, sebuah pakta yang terjalin di antara asap rokok dan ambisi.
Peluit panjang Asit mengoyak keheningan malam, menandai dimulainya drama sesungguhnya. Di atas lapangan, di bawah sorotan lampu yang membutakan, skenario yang dirancang dalam kegelapan mulai dimainkan. Babak pertama berjalan, bola lebih banyak dikuasai tim Rito, sesuai rencana awal. Pertandingan 'terasa' panas, namun bagi mata yang jeli, ada keanehan. Ersib dan rekan-rekannya, sang juara yang digdaya, tampak enggan menuntaskan serangan. Peluang emas disia-siakan, gawang yang sudah kosong dibiarkan tak terusik. Mereka 'icak-icak' (pura-pura) berjuang, namun tanpa niat membahayakan lawan. Asit di tengah lapangan, dengan gestur dan keputusan halus, turut memperlambat tempo, memastikan alur pertandingan tidak melenceng dari garis yang sudah ditarik.
Waktu terus berdetak, jarum jam mendekati akhir babak kedua. Skenario hampir sempurna. Kemenangan Rito di ambang mata. Namun, sepak bola adalah olahraga yang penuh kejutan, dan terkadang, takdir memiliki rencananya sendiri, terlepas dari skenario buatan manusia. Di detik-detik krusial menjelang peluit panjang berbunyi, sebuah malapetaka terjadi. Bola liar, entah bagaimana, memantul tak terduga. Seorang pemain dari tim Rito sendiri, dalam sebuah gerakan yang sepenuhnya tidak disengaja, menyentuh bola tersebut. Bola bergulir, pelan namun pasti, melewati garis gawang... Gol.
Bukan gol kemenangan yang direncanakan Rito. Bukan gol yang dicetak oleh Ersib atau timnya (sesuai 'janji'). Itu adalah gol bunuh diri, sebuah kecelakaan fatal yang mengacaukan segalanya. Skenario runtuh. Waktu habis. Peluit akhir berbunyi, menyisakan kebisuan yang memekakkan telinga bagi ketiga perancang sandiwara ini.
Pasca-pertandingan, di sudut yang jauh dari sorotan dan sorak sorai (atau kekecewaan murni), mereka kembali bertemu. Wajah Rito mengeras, menuntut pengembalian uang yang sudah diberikan. "Kembalikan yang sudah kuberikan!" pintanya, lebih mirip perintah. Ersib bergeming, menolak dengan dingin. "Yang cetak gol bukan pemainku," ujarnya santai, seolah kegagalan skenario itu bukan urusannya. Logikanya bengkok namun dalam konteks kesepakatan mereka, Ersib bisa saja merasa tidak melanggar janji utama: timnya tidak menggolkan untuk kemenangan Rito atau mengalahkan Rito sesuai kesepakatan.
Sementara itu, wajah Asit pucat pasi. Ia adalah pengatur tempo, sang perantara yang gagal mengamankan kemenangan Rito sesuai 'pesanan'. Ia tahu nasibnya terancam dicap tidak komitmen, dan tentu saja, ada 'bagiannya' yang sudah diterima dan kini berpotensi harus dikembalikan.
Mereka bertiga berdiri dalam kebingungan yang mencekam. Skenario sudah berjalan, tapi hasilnya melenceng jauh dari harapan. Rencana yang matang, uang yang berpindah tangan, permainan yang direkayasa, semua hancur oleh sebuah kebetulan, sebuah sentuhan tak sengaja dari pemain tim sendiri. Siapa yang salah? Rito yang terlalu percaya diri? Ersib yang terlalu santai? Asit yang kurang cermat? Atau sepak bola itu sendiri, yang menolak dipermainkan?
Mereka tak tahu pasti siapa yang patut disalahkan atas kekacauan itu. Yang jelas, dalam kebingungan dan kekecewaan mereka, ada satu hal yang mungkin mereka lupa, atau sengaja lupakan saat membuat kesepakatan gelap itu: Allah tak tidur. Dan terkadang, 'gol' tak terduga adalah cara semesta menunjukkan bahwa keadilan, atau setidaknya konsekuensi tak terduga, selalu punya cara untuk menemukan jalannya.
Padang, 9 Mei 2025
Oleh: Mastilizal Aye (Ketua Askot PSSI Padang)