Dalam senyap, kita menabur benih kasih sayang. Dengan sabar, setenang air yang mengalir, dan seutuhnya, kita memeluk seseorang dalam hati. Kita berikan yang terbaik, tanpa pamrih, tanpa syarat. Karena dalam diri kita, ia telah menjadi bagian yang tak terpisahkan, seolah napas yang kita hirup. Kita berharap, di saat senja kehidupan tiba, ia akan menjadi tumpuan, menjadi pelabuhan terakhir tempat kita bersandar.
Namun, semesta punya cara sendiri untuk menguji kita. Hati manusia, ternyata, bukanlah taman yang bisa kita tanam sesuka hati. Kita tak punya kendali atas arahnya, apalagi memaksanya berlabuh pada dermaga yang kita bangun. Kita berikan seluruh alasan untuk ia berubah dan bertahan, tapi mungkin di matanya, kita bukanlah sesiapa. Hatinya punya kompas sendiri, yang tidak selalu menunjuk ke arah kita. Dan kita, hanya bisa berdiri di kejauhan, memohon agar ia sudi menjadikan kita bagian dari ceritanya, tanpa sadar bahwa ia tak pernah menganggap kita lebih dari sekadar bayangan.
Maka, sia-sia rasanya menabur kebaikan pada tanah yang tak mengenal rasa terima kasih. Sia-sia pula berharap pada orang yang tak pernah menganggap kita ada. Inilah pelajaran paling berharga yang pernah hidup ajarkan, bahwa kebaikan yang tulus pun bisa terhempas oleh ketidakpedulian.
Namun, percayalah, kebaikan tak pernah mati. Ia hanya berpindah tempat, mencari wadah yang layak. Semua kebaikan yang pernah kita berikan, semua pengorbanan yang pernah kita lakukan, tidak akan sia-sia. Mungkin bukan dari dia yang kita puja, melainkan dari orang-orang dengan hati yang tulus dan etika yang mulia.
Seperti hukum alam, kebaikan akan selalu menemukan jalannya kembali. Ia akan berbalik pada kita dalam bentuk yang tak terduga, dari tangan-tangan yang tak pernah kita bayangkan. Karena Tuhan, Maha Adil, mencatat setiap tetes kebaikan yang kita curahkan.
Maka, biarkan pengalaman pahit ini menjadi pembelajaran, sebuah kepingan puzzle yang melengkapi mozaik kebijaksanaan. Ikhlaskan dia yang tak mengenal empati, lupakan harapan yang telah layu. Kini, saatnya kembali pada diri sendiri. Berbenah, menyembuhkan luka, dan merawat hati agar kembali utuh. Sebab, kebahagiaan sejati bukanlah tentang seberapa keras kita berusaha dicintai, melainkan tentang seberapa dalam kita mencintai diri sendiri.
Padang, 12 September 2025
By: Andarizal