Bagi Gusni, Liburan Sumatera Barat Tak Lengkap Tanpa Jam Gadang: Ini Alasannya
Setiap kota besar memiliki penanda visualnya sendiri, sebuah ikon yang langsung terlintas di benak saat namanya disebut. Untuk Bukittinggi, di jantung Sumatera Barat yang memesona, penanda itu tak lain adalah Jam Gadang. Menara jam kolosal yang kokoh berdiri di tengah kota ini bukan sekadar penunjuk waktu raksasa; ia adalah saksi perjalanan sejarah, perpaduan budaya, dan simbol kebanggaan lokal yang kisahnya layak dinarasikan.
Kisah Jam Gadang berakar jauh ke masa kolonial Belanda. Pada awal abad ke-20, tepatnya sekitar tahun 1925, Kota Fort de Kock – nama Bukittinggi kala itu – akan merayakan usianya yang ke-100 tahun. Dalam konteks perayaan ini, sebuah inisiatif mulia muncul dari sosok Hendrik Roelof Rookmaaker, yang menjabat sebagai Sekretaris Kota sekaligus controleur. Rookmaaker berkeinginan kuat untuk mendirikan sebuah penanda peringatan yang monumental.
Keinginan Rookmaaker ini disambut baik, bahkan mendapat 'restu' istimewa dari seberang lautan. Jam Gadang ternyata bukanlah proyek biasa, melainkan sebuah hadiah kehormatan dari Sang Ratu Belanda sendiri, Ratu Wilhelmina, yang dipersembahkan kepada Rookmaaker atas dedikasinya di Fort de Kock. Sebuah hadiah yang kelak akan menjadi denyut nadi kota.
Untuk merancang monumen penunjuk waktu raksasa ini, kepercayaan diberikan kepada talenta lokal. Adalah Yazid Rajo Mangkuto, seorang arsitek ulung dari tanah Minangkabau yang juga dikenal dengan julukan Sutan Gigi Ameh, yang didapuk untuk menuangkan gagasan menara jam ke dalam bentuk nyata. Sentuhan arsitek lokal ini memberikan fondasi identitas pada bangunan yang akan didirikan.
Pembangunan menara jam ini pun dimulai. Prosesnya memakan waktu sekitar dua tahun, berlangsung dari tahun 1925 hingga 1927. Sebuah proyek yang tidak main-main pada zamannya, menghabiskan biaya sekitar 3.000 gulden, jumlah yang cukup signifikan kala itu. Perlahan, struktur kokoh itu berdiri, menjulang di pusat kota, siap mengemban tugasnya sebagai penunjuk waktu sekaligus penanda peradaban.
Menariknya, wujud awal Jam Gadang sedikit berbeda dengan yang kita kenal sekarang. Setelah selesai dibangun, puncaknya berbentuk bulat, lengkap dengan patung ayam jantan di atasnya. Namun, sejarah terus bergerak. Ketika Indonesia meraih kemerdekaannya, terjadi sebuah transformasi simbolis yang penting. Atap Jam Gadang diubah total. Bentuk bulat puncaknya diganti menjadi gonjong, arsitektur khas rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang. Perubahan ini bukan sekadar renovasi fisik, melainkan penegasan identitas lokal, sebuah klaim kembali atas simbol-simbol tanah air setelah era kolonial.
Lebih dari sekadar derit jam yang mengiringi detik-detik kehidupan kota, Jam Gadang lantas menjelma menjadi lebih dari itu. Ia memiliki nilai strategis sebagai pusat kota dan secara perlahan merajut ikatan emosional serta simbolis dengan masyarakat Bukittinggi. Keberadaannya menjadi titik temu, penanda lokasi, dan lambang kebanggaan komunal.
Hari ini, Jam Gadang berdiri tegak, gagah, dan tak terpisahkan dari citra Kota Bukittinggi. Ia adalah landmark utama yang menyambut setiap pengunjung dan menjadi latar wajib bagi para pelancong. Seperti diungkapkan oleh Gusni, seorang pecinta destinasi wisata Sumatera Barat, "kalau belum melihat Jam Gadang ini belum rasanya liburan di Sumatera Barat belum lengkap." Ungkapan ini bukan isapan jempol; Jam Gadang telah menjadi ikon pariwisata yang vital, mengajak setiap orang untuk singgah, meresapi sejarahnya, dan mendengarkan detak waktu yang berpadu dengan denyut kehidupan kota yang dinamis ini. Ia adalah hadiah dari masa lalu yang terus hidup dan bernarasi hingga kini. (GuA)