Jalan Kalijati Berubah Rupa Menjadi Cokelat Berlumpur, Amarah Gubernur Dedi Mulyadi Meledak di Lokas
JABAR - Pagi itu, langit di atas Subang belum sepenuhnya cerah, namun suasana di Jalan Kalijati sudah keruh, bukan oleh mendung, melainkan oleh pemandangan yang sungguh mengiris hati: jalanan aspal yang seharusnya hitam mulus, kini berubah warna menjadi cokelat pekat, tertutup lapisan tanah dan debu. Bau anyir tanah basah pun menguar, beradu dengan deru kendaraan yang melintas perlahan, menghindari licin dan lubang yang mulai terbentuk.
Di tengah pemandangan yang memprihatinkan itu, sesosok pria yang tak asing lagi bagi warga Jawa Barat tiba. Langkahnya tegap, namun raut wajahnya menyimpan gurat kekecewaan yang mendalam. Dia adalah Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, yang pagi itu memilih meninjau langsung kondisi jalan yang laporannya sudah beberapa kali mampir ke telinganya.
Setibanya di lokasi (18/4/2025), pria yang akrab disapa KDM ini tak bisa lagi menahan gejolak emosi yang mendera. Pandangannya menyapu hamparan jalan yang kotor, sisa-sisa tanah yang berjatuhan dari truk-truk pengangkut material galian. Ini bukan kali pertama ia menghadapi masalah serupa di titik ini.
"Ini jalur jalan Kalijati," ucap KDM dengan nada suara tertahan, namun getaran kekesalan jelas terasa. Ia melanjutkan, "saya sudah tiga kali nyemprot jalan ini, karena saya merasa tidak nyaman jalan jadi kecoklat-coklatan." Frasa "tiga kali nyemprot" menggarisbawahi betapa seringnya masalah ini terulang, betapa gigihnya ia mencoba membereskan dampak buruk yang ditimbulkan oleh pihak yang tak bertanggung jawab.
Kemarahannya semakin memuncak ketika ia menyadari betul akar permasalahannya. Kotornya jalan ini bukan karena faktor alam semata, melainkan ulah manusia, aktivitas proyek galian yang mengabaikan standar kepatutan dalam penggunaan fasilitas umum. Truk-truk besar pengangkut tanah itu melintas, menumpahkan muatan, meninggalkan jejak kerusakan yang nyata.
"Ini akibat adanya angkutan tanah, yang diangkut oleh truk-truk besar," lanjut Dedi Mulyadi, suaranya kini lebih tegas, memprotes ketidakadilan yang terjadi. "Padahal orang memiliki usaha galian tentu dapat keuntungan. Tapi pengambilan keuntungan tidak boleh memberikan kerugian pada orang lain, merusak fasilitas umum."
Kalimat itu meluncur bukan hanya sebagai teguran, melainkan prinsip mendasar yang ia junjung tinggi. Bahwa keuntungan ekonomi harus berjalan seiring dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Meraup laba tidak boleh dibayar dengan rusaknya infrastruktur publik yang dibangun dengan uang rakyat, tidak boleh dibayar dengan terenggutnya kenyamanan dan keamanan pengguna jalan lainnya.
Pemandangan Jalan Kalijati yang kotor itu menjadi simbol dari sebuah ketidakberesan, sebuah pengabaian terhadap etika berusaha dan kewajiban menjaga lingkungan sekitar. Di bawah tatapan tajam Sang Gubernur, jalanan cokelat berlumpur itu seolah berteriak, menuntut keadilan atas perlakuannya. Dan amarah Dedi Mulyadi pagi itu adalah suara perlawanan terhadap kesewenang-wenangan yang merugikan masyarakat luas. Persoalan ini bukan hanya tentang jalan yang kotor, tetapi juga tentang prinsip, tanggung jawab, dan keberpihakan pada kepentingan umum yang harus diutamakan di atas segala-galanya. (And)